Lebih dari Sekadar Reruntuhan, Gaza Adalah Semangat Menolak untuk Mati

Jauh sebelum fajar menyinari langit Kota Gaza yang suram, Mohammed Abu Ali dan tiga saudara laki-lakinya sudah berkumpul di halaman rumah mereka yang sederhana.
Gema drone dan suara tembakan di kejauhan memudar di balik dentingan panci ketika keempat laki-laki itu menyiapkan makanan untuk ratusan pengungsi Palestina, yang banyak di antaranya belum makan secara layak selama berhari-hari.
“Kami memasak nasi dan lentil serta membuat sup sederhana,” ujar Mohammed (45), ayah dari empat anak, kepada Xinhua sembari menyendok makanan yang masih panas ke dalam baki.
“Saya berharap dapat berbuat lebih banyak, tetapi penutupan perbatasan membatasi upaya kami untuk membantu masyarakat,” ujarnya.
Inisiatif keluarga itu muncul sekitar sebulan yang lalu, setelah Israel menutup perlintasan perbatasan Kerem Shalom, satu-satunya pintu gerbang komersial Gaza dengan dunia luar, di tengah kandasnya kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas yang dicapai pada Januari lalu.
Israel menyatakan penutupan tersebut dimaksudkan untuk menekan Hamas agar membebaskan lebih banyak lagi warga Israel yang disandera. Sementara, Hamas menuduh Israel melanggar gencatan senjata, yang diupayakan untuk meringankan penderitaan masyarakat di Gaza.
Lebih buruk lagi, Israel kemudian melanjutkan serangan udara dan daratnya yang mematikan di daerah kantong Palestina itu pada 18 Maret, yang sejauh ini telah menewaskan 1.391 orang dan melukai 3.434 lainnya di Gaza.
Jumlah korban tewas secara keseluruhan di Gaza telah mencapai 50.752 orang, dengan 115.475 lainnya luka-luka sejak awal operasi militer Israel di daerah kantong tersebut pada 7 Oktober 2023, lapor otoritas kesehatan Gaza.
Konsekuensi langsung dari blokade bantuan oleh Israel itu dan serangan-serangan terbarunya sangatlah menghancurkan. Toko-toko roti tutup, pasar-pasar sepi, dan keluarga-keluarga dijatah dengan persediaan yang makin menipis.
Situasi mengerikan tersebut mendorong Mohammed untuk mengumpulkan tepung, beras, dan makanan kaleng milik keluarganya, sementara para tetangganya menyumbangkan makanan sisa. Kini, di halaman rumahnya, Mohammed membagikan makanan kepada lebih dari 400 orang setiap harinya, yang sebagian besar adalah perempuan, anak-anak, dan lansia.
“Orang-orang kelaparan. Jadi, saya dan saudara-saudara saya mengumpulkan semua yang kami miliki di rumah … Kami memutuskan bahwa tidak ada seorang pun di sekitar kami yang boleh kelaparan, meskipun makanannya sederhana,” tutur Mohammed.
Ia melanjutkan “Kami tidak hanya menyediakan makanan, tetapi juga mencoba untuk saling menguatkan. Bahkan, sepiring makanan hangat pun bisa memberikan harapan kepada seseorang bahwa dia tidak dilupakan”.
Di seluruh Gaza, upaya-upaya akar rumput seperti ini bermunculan. Di sebuah tempat penampungan sementara di dekat Deir al-Balah, Gaza tengah, Nidal Banat (55) mengoordinasikan distribusi makanan di antara tenda-tenda yang menampung para pengungsi. Dulunya, Banat adalah seorang pemilik toko di permukiman Shuja’iyya, Gaza City. Kini, pria itu telah kehilangan rumah dan mata pencahariannya dalam sebuah serangan udara Israel.
“Saya bahkan tidak sempat mengunci pintu ketika melarikan diri. Namun, bagian tersulitnya bukanlah apa yang hilang dari kami. Melainkan mengetahui bahwa dunia telah melihat kami kehilangan, tetapi tidak melakukan apa pun,” kata Banat kepada Xinhua.
Banat melanjutkan “Kami semua mengungsi. Kami semua lapar. Kami sadar bahwa tidak ada yang akan datang untuk menyelamatkan kami … Jadi, kami saling membantu satu sama lain untuk bertahan hidup. Kami adalah satu kesatuan, berbagi satu perjuangan,” ujar Banat.

Banat berkeliling dari tenda ke tenda, mengumpulkan setengah kantong beras, beberapa kaleng penyok berisi tomat dan bawang bombai serta sedikit minyak untuk makan bersama, terutama bagi mereka yang tidak memiliki apapun.
“Beberapa orang tidak mendapatkan makanan yang layak selama berhari-hari. Jadi, kami mengumpulkan apa yang kami bisa. Bahkan sumbangan terkecil pun sangat berarti … Kami menggabungkan semuanya dan memasaknya di dalam panci besar sehingga tidak ada yang tidur dalam keadaan lapar jika kami bisa membantu,” ujarnya.
“Ketika anak-anak menangis karena kelaparan, kami saling memandang satu sama lain dan tidak berbicara. Kami hanya bertindak, kami berbagi karena hanya itu yang kami miliki satu sama lain,” kata Banat menambahkan.
“Dulu, kami orang-orang yang bermartabat, pekerja bangunan, petani, pemilik toko. Sekarang, kami menjadi pengemis di tanah kami sendiri. Namun, meski dalam keadaan yang hina ini, kami tetap menegakkan kepala karena kami masih mampu berdiri,” ucap Banat dengan sedih.
Ketika asap dari serangan udara Israel yang terbaru membubung di cakrawala, Banat terdiam sejenak. “Kami mungkin hancur, tapi kami tidak kalah,” tuturnya.
“Gaza lebih dari sekadar reruntuhan. Gaza adalah semangat yang menolak untuk mati,” ujar Banat. [Xinhua]