News

Kritik MUI: PP 28/2024 Abaikan Prinsip Islam Terkait Aborsi dan Khitan


Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah Kiai Cholil Nafis mengkritik beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya mengenai regulasi aborsi dan praktik khitan perempuan. 

Cholil menyoroti ketidaksesuaian antara ketentuan tersebut dengan prinsip-prinsip Islam, sebagaimana dirumuskan dalam fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI sebelumnya.

Dalam PP 28 Tahun 2024, Pasal 116 hingga 119 memberikan ketentuan bahwa aborsi hanya diperbolehkan dalam kondisi kedaruratan medis atau bagi korban tindak pidana perkosaan. 

Namun, menurutnya, aturan ini masih kurang ketat karena memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan hingga usia kehamilan 40 hari. Dalam Islam, sebagaimana disepakati oleh ulama, aborsi setelah peniupan ruh (120 hari kehamilan) adalah haram, kecuali dalam kondisi yang mengancam jiwa ibu.

Baca Juga:  Korban Pelecehan Seksual di RSHS Bandung Lebih dari Satu Orang

“Mengizinkan aborsi dalam kasus perkosaan harusnya dengan ketentuan yang sangat ketat, mengingat setiap nyawa yang terbentuk adalah sakral,” ungkapnya kepada inilah.com, Rabu (31/7/2024). 

Hal ini merujuk fatwa Nomor 1/MUNAS VI/MUI/2000 tentang Aborsi yang menegaskan bahwa aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang haram, namun dapat dibenarkan dalam situasi tertentu yang mendesak, seperti ancaman serius terhadap kesehatan ibu.

Isu Khitan Perempuan

Lebih lanjut, Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Indonesia itu juga mengecam Pasal 102 a dalam PP yang sama, yang menghapus praktik sunat perempuan. 

Dia menegaskan bahwa dalam Islam, khitan perempuan (makrumah) bukanlah wajib, namun tidak seharusnya dilarang, sebagaimana amalan ini masih dianjurkan dalam beberapa mazhab.

Baca Juga:  15 Jenazah Tim Penyelamat Gaza Ditemukan, Satu Masih Hilang

“Khitan perempuan telah lama menjadi bagian dari tradisi beberapa komunitas Muslim dan memiliki dasar teologis yang kuat. Kebijakan yang melarang praktik ini bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama,” jelasnya. 

Dia meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali artikel ini dan mencari solusi yang tidak hanya mengakomodasi aspek kesehatan tetapi juga sensitivitas religius.

Pelayanan Aborsi dan Sanksi

Sementara itu, PP 28 Tahun 2024 juga menetapkan bahwa pelayanan aborsi hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis di fasilitas kesehatan tingkat lanjut dengan memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. 

Selain itu, terdapat ketentuan bahwa dokter dan tim pertimbangan harus terlibat dalam keputusan aborsi, terutama dalam kasus yang memerlukan pertimbangan medis dan legal yang kompleks.

Baca Juga:  Menkeu Israel Smotrich: Sebutir Gandum pun tak akan Bisa Masuk ke Gaza

Pasien aborsi akan mendapat pendampingan dan konseling sebelum serta sesudah aborsi. Bagi korban tindak pidana perkosa dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang memutuskan untuk membatalkan aborsi, pemerintah juga akan memberikan pendampingan dan konseling. Korban diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

Sementara aborsi yang dilakukan secara ilegal dan tidak mematuhi ketentuan serta syarat yang diberikan, dapat dikenai pidana kurungan penjara dan denda.

Berdasarkan Pasal 427 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan disebutkan bahwa perempuan yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan kriteria dapat dikenai pidana penjara maksimal 4 tahun.

 

Back to top button