Market

Geothermal Poco Leok, Investasi PLN Merampas Tanah Adat

Pemkab Manggarai, Flores, NTT mendukung PT PLN memperluas wilayah operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok di Kecamatan Satar Mese. Meski harus merampas lahan adat.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), M Jamil mengecam sikap represif aparat TNI, Polri dan Satpol PP, termasuk PLN terhadap warga Pocoleok, Flores yang mempertahankan haknya.

“Kami mengecam keras tindakan brutal, penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi oleh aparatur kekerasan Polri, TNI, dan Sat Pol PP terhadap penduduk asli Pocoleok, Flores,: kata Jamil, Jakarta, Sabtu (24/6/2023).

Pengerahan aparat keamanan untuk memuluskan rencana perluasan pengeboran panas bumi Ulumbu, milik PLN itu, menurutnya, sudah dilakukan sejak Februari 2023. Pengerahan aparat itu memicu rasa tidak aman bagi warga.

Baca Juga:  Ojol Berorasi di Hari Buruh Tuntut Kesejahteraan dan Jaminan Keselamatan

“Warga bahkan tidak lagi punya waktu untuk bekerja, mengingat sebagian besar waktunya digunakan untuk menjaga lahan dari upaya penerobosan paksa pihak perusahaan dan pemerintah,” terangnya.

Upaya paksa ini melibatkan aparat Kepolisian dan TNI, serta Satpol PP. Namun warga tak mundur demi mempertahankan hak atas ruang hidupnya. Sejak Selasa hingga Rabu, (20-21 Juni 2023), upaya pemaksaan terjadi. Setelah upaya yang sama sebelumnya berulang kali digagalkan warga.

Dalam hal ini, sejumlah petugas Badan Pertanahan Nasional/BPN dan PT PLN dikawal ketat aparat kepolisian dan TNI, memaksa masuk ke Lingko Tanggong, tanah ulayat milik warga Kampung Lungar, Poco Leok yang sebelumnya ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran, yaitu well pad D.

Baca Juga:  Didik J. Rachbini Soroti Profesionalisme Pengurus untuk Bangun Koperasi Merah Putih

Upaya paksa untuk melakukan pematokan lahan pengeboran ini dihadang puluhan warga adat dari Kampung Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako. Warga penolak pun harus terlibat bentrok fisik dengan aparat keamanan.

Dalam hal ini, warga penolak tak gentar sedikitpun. Lantaran pihak pemda maupun PLN yang diback-up aparat sudah menyalahi prinsip bahwa aktivitas apapun yang berkaitan dengan lingko harus melalui kesepakatan komunitas adat di Mbaru Gendang (rumah adat).

Dalam bentrokan fisik tersebut, tercatat ada empat orang warga perempuan dan lima orang laki-laki mengalami kekerasan, karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan.

Seorang perempuan juga mengaku menjadi korban pelecehan dario seorang aparat kepolisian. “Kami menghadang mereka supaya tidak lewat di lahan kami ketika hendak mematok lahan untuk geothermal, tetapi kami didorong sampai terjatuh,” ungkap Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar.

Baca Juga:  Menko Zulhas Target 80 Ribu Kopdes Merah Putih Terbentuk dalam Dua Bulan

Setelah kejadian itu, Lahus kemudian sempat menggelar aksi protes dengan melepaskan pakaiannya, lalu menutup dadanya dengan jaket.

Ia lalu tampil di bagian depan, menghadang aparat polisi, TNI, dan Pol PP. “Kami mau tunjukkan bahwa polisi sudah keterlaluan,” ungkap Wihelmina Sesam, perempuan yang bersama Lahus menjadi korban kekerasan aparat.

Back to top button