Market

Konflik Global Hadirkan Ketidakpastian, Subsidi Energi RI dalam Kondisi Was-was


Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengakui konflik global yang terjadi belakangan ini, mulai dari kehebohan terif resiprokal Amerika Serikat (AS) hingga konfil Iran-Israel telah memberikan tekanan dan mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Situasi seperti ini, kata dia, memaksa Indonesia berhadapan dengan ketidakpastian baru dan potensi risiko-risiko yang harus diantisipasi. Salah satunya, soal subsidi BBM yang bisa membengkak jika eskalasi Iran-Israel kembali memanas.

Misbakhun bilang, harga minyak terkini masih dalam range yang moderat, harga per barel masih belum melewati USD80, masih di kisaran USD70. Sementara, Indonesian Crude Price (ICP) di APBN 2025 berada di kisaran USD82/barel, akan tetapi kenaikan sudah mulai terlihat. Misbakhun mengungkap, ada yang sudah naik ke angka USD76 bahkan USD79.

Baca Juga:  Pede Ekonomi akan Tumbuh 7 Persen, Prabowo Klaim RI bakal Jadi Eksportir Pangan

“Artinya dari sisi harga minyak kita masih sangat aman, dan itu artinya subsidi BBM, subsidi energi kita masih bisa dikategorikan was-was, tapi secara riil masih dalam kontrol sepenuhnya di dalam angka-angka APBN,” ujar Misbakhun secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia’, dipantau di Jakarta, Minggu (29/6/2025).

Dia memaparkan, pada proyeksi pertumbuhan PDB global Indonesia pada kuartal pertama dari target APBN 2025 sebesar 5,2 persen, tumbuh 4,87 persen. Pertumbuhan ini, kata dia, terjadi justru di saat sebelum ada perang Iran-Israel hingga adanya keterlibatan Amerika.

“Kita tumbuh 4,87 persen karena dampak Trump 2.0 ketika mulai mengenakan ancaman tarif yang tertunda. Ini yang harus kita antisipasi sejak awal dan prediksi hampir semuanya memulai dari IMF, World Bank ini semuanya memberikan koreksi terhadap prediksi pertumbuhan ekonomi global,” ujar dia.

Baca Juga:  Luas Rumah Subsidi Mau Dipersempit, Wamen Fahri Ngeles: Justru Mau Diperlebar

Oleh karena itu, Misbakhun menegaskan, Indonesia harus mengantisipasi lebih awal bagaimana kondisi APBN di tahun 2025 ini.

Asal tahu saja,  letak Iran dan Israel yang merupakan jalur pelayaran ekspor dunia. Konflik di wilayah tersebut tentu memaksa negara-negara mencari jalur perdagangan lain yang kemungkinan menempuh jarak lebih jauh.

Dengan jarak yang lebih jauh, kebutuhan logistik akan semakin mahal sehingga harga jual juga secara otomatis akan meningkat. Hal ini dapat mengganggu rantai pasok dunia. Sebagai negara pengimpor minyak, meningkatnya harga minyak dunia berpengaruh terhadap bertambahnya pembiayaan yang harus dikeluarkan Indonesia.

Meski  jumlah ekspor Indonesia ke Timur Tengah memang kecil, tetapi permasalahan terletak pada posisinya sebagai jalur pelayaran.

Baca Juga:  Zulhas: Kopdes Merah Putih Bukan Program Bagi-bagi Uang Negara

“Sebetulnya ekspor kita ke Timur Tengah tidak begitu besar, tidak sampai lima persen dari jumlah ekspor kita. Tetapi, Timur Tengah itu jalur pelayaran ke Eropa, sehingga kalau ada masalah, otomatis biaya logistik ke Eropa semakin mahal. Kalau logistik mahal, otomatis ekspor kita menurun karena importir di Eropa akan mengalihkan ekspor ke negara lain yang lebih murah,” tutur Guru Besar  Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Rossanto Dwi Handoyo.

Back to top button