Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun angkat bicara soal rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenakan pajak toko online atau e-commerce.
Dia mengingatkan pentingnya komunikasi antara pemerintah dengan pelaku usaha sehingga kebijakan tak terkesan mengagetkan.
“Saya yakin pemerintah akan membangun komunikasi yang baik sehingga jangan sampai kemudian rakyat terkaget-kaget terhadap apa yang menjadi policy pemerintah. Seakan-akan pemerintah tidak aspiratif dan seakan-akan pemerintah tidak memberitahukan itu,” ujar Misbakhun kepada wartawan, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Meskipun begitu, sebagai warga negara dia mengingatkan bahwa rakyat juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak tanpa terkecuali. Dia mengaku bahwa pemerintah membutuhkan uang dari pajak.
Dia pun menyarankan agar pemerintah dan pelaku usaha toko online dapat duduk bersama untuk mencari solusi terbaik atas kebijakan pajak e-commerce.
“Begitu anda membeli sesuatu ada kewajiban untuk membayar PPN 11 persen. Kalau itu barang mewah anda membayar 12 persen. Nah, mekanismenya itu mau online, mekanismenya itu mau offline, silakan diikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Rosmauli angkat bicara soal rencana pemerintah yang bakal mengenakan pajak untuk toko online atau marketplace. Pajak penghasilan (Pph) merujuk pada Pph pasal 22.
Dia mengatakan, pada dasarnya kebijakan ini mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.
“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dipungut pajak. Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan PPh dalam skema ini, sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Rosmauli kepada wartawan, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Dia mengatakan, tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan. Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.
Ketentuan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah shadow economy. Selain itu, memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy, khususnya dari pedagang online yang belum menjalankan kewajiban perpajakan baik karena kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administratif yang dianggap rumit. Meskipun begitu, dia menyebut kebijakan tersebut masih tahap finalisasi.
“Saat ini, peraturan mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 masih dalam proses finalisasi di internal pemerintah. Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikannya secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” kata dia.