Kesepakatan Mata Uang Lokal ASEAN, Kurangi Ketergantungan Dolar tapi sulit Tentukan Nilai Tukar


Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda angkat bicara terkait negara-negara anggota ASEAN yang kompak meninggalkan mata uang dolar AS dengan menggantikannya dengan mata uang lokal.

Menurutnya, rencana penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antar negara ASEAN sudah lama digulirkan. Namun memang masih belum ada kepastian implementasinya.

“Saya melihat ada hal positif dan negatifnya. Hal positifnya memang mengurangi ketergantungan terhadap dolar US untuk kegiatan perdagangan luar negeri. Dengan menggunakan local currency settlement, maka untuk membeli barang dari Thailand, tidak perlu menggunakan dolar US, melainkan bath Thailand jika dilakukan di Thailand. Atau menggunakan rupiah Indonesia jika dilakukan di Indonesia,” ujar Huda dihubungi Inilah.com, Jakarta, Rabu (16/4/2025).

Meskipun begitu, penggunakan mata uang lokal dalam perdagangan di negara ASEAN masih dipertanyakan. Alasannya, kata Huda, sulit untuk menentukan nilai tukar yang pasti terhadap produk atau barang dagang.

“Namun demikian, ada hal negatifnya juga berupa kesulitan menentukan nilai tukar tanpa mempertimbangkan dolar US sebagai mata uang yang paling banyak digunakan di dunia. Selama ini kan nilai tukar selalu melalui perbandingan dengan dolar AS. Tidak ada dasar dalam menentukan nilai tukar masing-masing,” katanya.

Perang Dagang

Sebagai informasi, Menghadapi genderang perang dagang yang ditabuh Presiden AS, Donald Trump, negara-negara anggota ASEAN kompak untuk meninggalkan mata uang dolar AS (dedolarisasi). Menggantikannya dengan mata uang lokal.

Hal itu menjadi salah satu butir kesepakatan dari para gubernur bank sentral dari negara anggota ASEAN dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN ke-12 (ASEAN Finance Ministers’ and Central Bank Governors’ Meeting/AFMGM) di Kuala Lumpur, Malaysia pada 10 April 2025.

Di sela AFMGM ke-12, bank sentral Kamboja atau National Bank of Cambodia (NBC) resmi mengumumkan partisipasinya dalam inisiatif Regional Payment Connectivity (RPC) saat peluncuran fase kedua QR Connectivity Malaysia-Kamboja pada 8 April 2025.

Asal tahu saja, inisiatif RPC yang dibentuk pada 2022 oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand ini, sebelumnya telah diperluas dengan keikutsertaan Vietnam (Agustus 2023), Brunei Darussalam (Februari 2024), serta Lao PDR (April 2024).

Tujuan pembentukan RPC adalah mendorong pembayaran lintas batas yang lebih cepat, murah, transparan, dan inklusif, antara lain melalui sistem pembayaran cepat dan QR, guna memperkuat integrasi keuangan, fasilitasi perdagangan, remitansi, serta akses pasar bagi UMKM di kawasan.

“Bergabungnya NBC ke dalam RPC memperkuat integrasi keuangan kawasan Asia Tenggara. Partisipasi yang terus meningkat ini mencerminkan potensi besar RPC dalam memperluas kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan ASEAN dan sekitarnya,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dikutip Minggu (13/4/2025).
 

Exit mobile version