Keracunan Massal MBG Bukti Krisis Tata Kelola Keamanan Bahan Baku oleh BGN

Kasus keracunan massal yang berujung pada penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi bukti nyata adanya krisis tata kelola keamanan pangan dalam pelaksanaan program tersebut.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pakar global health security dari Griffith University dan Yarsi University, Dicky Budiman.
“Ya setelah kejadian di Cianjur, sekarang terjadi lagi di Bogor. Ini menunjukkan secara umum bahwa ada masalah serius dalam tata kelola keamanan pangan. Khususnya di program pemberian makanan sekolah,” kata Dicky kepada Inilah.com, JakarSenin (12/5/2025).
Dicky menambahkan, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 1501 Tahun 2010, Kejadian Luar Biasa (KLB) tidak hanya mencakup penyakit menular, tetapi juga kasus keracunan.
“Jadi KLB itu bukan hanya soal penyakit menular, tetapi juga mencakup keracunan apabila secara epidemiologis terbukti terjadi peningkatan di luar kondisi normal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dicky menambahkan, keracunan makanan ini tidak bisa ditolerir. Sebab, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyerukan prinsip zero tolerance terhadap kasus keracunan makanan, khususnya pada populasi rentan seperti anak-anak.
Lalu apa langkah yang harus diambil setelah penetapan status KLB keracunan? Dicky mengatakan harus ada ada tanggap darurat kesehatan masyarakat. Termasuk mengisolasi makanan yang diduga sebagai sumber dari keracunan.
“Dan juga sambil penelusuran distribusi. Kemudian juga pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk identifikasi agen penyebab. Apa itu biologis, kimiawi atau fisik,” ujar Dicky.
Selain itu, penanganan medis, hingga pencatatan epidemiologis yang komprehensif, serta evaluasi menyeluruh terhadap program MBG juga wajib dilakukan secara paralel.
“Kemudian yang perlu juga dilakukan evaluasi menyeluruh program MBG. Jadi audit rantai pasok ini khususnya di Bogor nih ya. Tapi ya secara nasional juga harus jadi evaluasi ini menyeluruh terhadap program MBG ini. Audit rantai pasok, higienitas dari dapur, proses masak, distribusi,” katanya .
Lebih jauh, Dicky menyarankan agar dilakukan pemeriksaan terhadap vendor penyedia makanan, termasuk memastikan apakah mereka memiliki izin edar dan sertifikasi yang sah, baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dinas kesehatan, maupun standar keamanan pangan lainnya.
“Yang harus segera dilakukan juga adalah moratorium sementara MBG di wilayah terdampak. Itu harus segera dilakukan juga moratorium. Jadi dihentikan sementara sampai ada perbaikan sistemik,” tandasnya.
Evaluasi menyeluruh pun perlu dilakukan secara lintas sektor, melibatkan dinas kesehatan, dinas pendidikan, BPOM, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerhati setempat.
Hasil evaluasi tersebut, lanjut Dicky, nantinya akan menjadi dasar pertimbangan apakah program MBG layak untuk dilanjutkan atau tidak.