Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Politik Uang


Setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai simbol kebangkitan kolektif bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial. Boedi Oetomo, sebagai pelopor organisasi modern pertama di Indonesia, mengusung semangat persatuan, kemajuan berbasis pendidikan, dan kesadaran kebangsaan. Namun, lebih dari satu abad sejak itu, “penjajahan” dalam bentuk baru justru menjalar ke jantung demokrasi itu sendiri: politik uang.

Fenomena ini bukan lagi soal pelanggaran prosedural pemilu, tetapi telah merasuki relasi kekuasaan hingga menggerogoti substansi konstitusi. Dalam Pembukaan UUD 1945, negara berjanji “melindungi segenap bangsa” dan “mewujudkan keadilan sosial.” Namun bagaimana janji ini dapat ditepati bila politik transaksional menjadi fondasi dari lahirnya para pemimpin?

Politik Uang dan Hukum yang Tidak Responsif

Dalam salah satu putusan bersejarahnya, Mahkamah Konstitusi pada Mei 2025 mendiskualifikasi, bukan hanya salah satu, tetapi seluruh pasangan calon dalam Pilkada Barito Utara karena praktik politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif. Uang yang dibagikan per suara dilaporkan mencapai Rp16 juta, bahkan lebih. Ini bukan sekadar kasus lokal. Ia adalah cermin dari demokrasi prosedural yang kehilangan substansi moral dan keadilan.

Bila diletakkan dalam kerangka teoritis, Susan Rose-Ackerman (1999) dalam karyanya Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform mengetengahkan bahwa korupsi politik acapkali muncul dalam sistem demokrasi yang memiliki regulasi kepemiluan lemah, lembaga penegak hukum yang tidak independen, serta kultur patronase yang kuat. Dalam konteks ini, politik uang bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi bentuk kooptasi suara rakyat demi kepentingan elitis.

Rose-Ackerman juga menekankan, manakala demokrasi direduksi menjadi transaksi, maka kebijakan publik tak pelak akan tunduk pada kepentingan modal, alih-alih suara rakyat. Dalam jangka panjang, sistem hukum kehilangan legitimasi sebab gagal membendung praktik-praktik yang merusak keadaban publik.

Dalam dimensi teori lainnya, Nonet dan Selznick (2001) menegaskan: hukum tidak boleh semata-mata menjadi alat kekuasaan, tetapi harus mampu mengartikulasikan nilai dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang ditegakkan harus bersifat responsif—peka terhadap krisis moral dan struktural yang tengah berlangsung.

Namun dalam konteks Indonesia, hukum kerap berjalan tergopoh-gopoh dan semata hadir sebagai reaksi, bukan antisipasi. Fenomena politik uang atau suap dalam layanan publik—mulai dari kantor kelurahan hingga kekuasaan di tingkat pusat—menunjukkan lemahnya deterensi hukum.

Tidak sedikit kasus yang berhenti di permukaan, atau ditangani secara tebang pilih. Ini memperkuat kesimpulan Rose-Ackerman: ketimpangan penegakan hukum menciptakan persepsi impunitas dan mendorong aktor politik untuk mengulangi praktik koruptif.

Kebangkitan Nasional yang Baru

Boedi Oetomo tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari kesadaran kolektif kaum terdidik akan pentingnya kemajuan dan martabat bangsa. Kebangkitan itu lahir dari kekuatan gagasan, bukan kekuatan uang. Ini menjadi pelajaran penting: perubahan sejati dimulai dari keberanian berpikir dan keberpihakan pada nilai.

Kita perlu memaknai kembali Hari Kebangkitan Nasional sebagai momen desakralisasi demokrasi prosedural, dan di saat yang sama membangkitkan kembali demokrasi substantif. Itu berarti demokrasi yang menjunjung etika, integritas, dan keadilan. Ini bukan sekadar tugas KPU, Bawaslu, atau Mahkamah Konstitusi. Ini adalah proyek kolektif seluruh bangsa.

Kesadaran warga negara harus dibangun agar tidak memandang demokrasi sebagai ruang transaksi, melainkan arena perjuangan untuk hak, keadilan, dan keberadaban. Lembaga pendidikan, media massa, ormas, dan tokoh masyarakat harus menjadi motor penggerak kesadaran ini.

Hari Kebangkitan Nasional tidak boleh berhenti pada seremonial belaka. Ia harus menjadi peringatan akan bahaya politik tanpa nilai dan hukum tanpa keberpihakan. Dalam suasana demokrasi yang dinodai politik uang, kita tidak sedang hidup dalam kemerdekaan yang sejati, tetapi dalam bentuk penjajahan baru: penjajahan oleh uang dan hausnya kekuasaan.

Boedi Oetomo menunjukkan bahwa kebangkitan itu dimulai dari kesadaran dan keberanian melawan ketertundukan. Kini, kita membutuhkan kebangkitan baru—yakni kebangkitan dari diamnya hukum terhadap korupsi politik, dan kebangkitan dari apatisme masyarakat terhadap demokrasi yang dibajak oleh uang.

Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka jika hukum terus tunduk pada transaksionalisme yang banal, dan politik terus berfungsi sebagai arena dagang suara. Maka, memperingati Hari Kebangkitan Nasional hari ini adalah memperjuangkan kembali etika dalam hukum dan politik. Tanpa itu, kita hanya mengenang tanpa benar-benar bangkit.

Exit mobile version