Kapitalisme dan Mesin Perang: Ironi di Balik Derita Kemanusiaan

Semua orang tahu, tidak ada hal yang benar-benar bermanfaat dari peperangan. Perang hanya menciptakan derita dan tragedi kemanusiaan. Namun, anehnya, perang tetap terjadi dari waktu ke waktu, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah peradaban.
Yang lebih miris, di era kapitalisme modern, perang justru dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen ekonomi. Di balik kerusakan di satu belahan dunia, aktivitas ekonomi justru menggeliat di belahan lain. Produksi senjata, mobilisasi logistik, dan pengembangan industri pendukung menjadi lahan basah bagi segelintir elite bisnis global.
Fenomena ini bukan sekadar cerita. Ia adalah kenyataan pahit yang dilanggengkan oleh banyak kepentingan yang memandang konflik bersenjata sebagai peluang bisnis. Dalam kerangka Keynesian economics, belanja negara di bidang militer dalam skala besar kerap dipandang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan, pengeluaran militer global pada tahun 2023 naik 3,7% menjadi US$2,24 triliun. Selain Eropa—yang pengeluarannya melonjak 13% karena invasi Rusia ke Ukraina—tiga negara dengan belanja militer terbesar adalah Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Perang yang merenggut banyak nyawa memberikan keuntungan miliaran dolar kepada perusahaan seperti Lockheed Martin, Raytheon Technologies, BAE Systems, dan lainnya. Dengan meningkatnya eskalasi perang, keuntungan mereka diperkirakan akan terus naik.
Masalahnya, perusahaan-perusahaan ini punya pengaruh besar terhadap arah kebijakan negara-negara adidaya. Mereka tidak sekadar produsen senjata, tapi juga pelobi yang mendanai politisi dan membentuk opini publik demi memuluskan kepentingan mereka. Ketika ekonomi dan kekuasaan disatukan, perdamaian bisa menjadi hambatan yang dianggap perlu disingkirkan.
Negara-negara besar banyak menjadikan teori Keynes sebagai rujukan. John Maynard Keynes, dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), menyebut bahwa pada masa krisis, negara harus melakukan intervensi melalui belanja publik agar ekonomi bisa tumbuh. Dalam konteks Perang Dunia II, Amerika Serikat mengalokasikan belanja militer masif yang dipercaya berhasil menarik dunia keluar dari Great Depression.
Sayangnya, contoh tersebut kerap dijadikan dalih untuk terus menggencarkan belanja militer. Perang dikondisikan agar meluas, sehingga negara-negara membeli senjata dalam jumlah besar dari korporasi global. Imbalannya: pemasukan negara melalui pajak dan terbukanya lapangan kerja. Tapi pada akhirnya, kepentingan domestik warga negara maju jauh lebih utama ketimbang nasib rakyat di negara lain yang terkena dampak konflik.
Kritik terhadap Ekonomi Perang
Banyak ekonom dan pengamat mengingatkan: pengeluaran militer tidak memberi dampak produktif nyata bagi ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi berbasis konflik hanya menciptakan economic bubble yang bisa meledak sewaktu-waktu. Keuntungan hanya dinikmati perusahaan tertentu, sementara kerugiannya ditanggung masyarakat luas.
Kerusakan akibat perang menyebar, memicu instabilitas, bahkan membuka potensi perang dunia baru. Indonesia pun tak kebal terhadap dampaknya. Bank Indonesia mencatat bahwa arus foreign direct investment (FDI) ke Indonesia pada kuartal I 2024 melambat 8% dibanding tahun sebelumnya. Alasannya: fokus investasi global bergeser dari sektor produktif seperti pendidikan dan kesehatan ke sektor pertahanan.
Saat perusahaan-perusahaan senjata global meraup untung dari setiap peluru yang ditembakkan, rakyat sipil menjadi korban. Krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata tidak bisa dihitung secara materi. Namun, dunia seolah tak peduli—masih berlomba mengembangkan teknologi militer yang kian destruktif.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Sebagai negara yang mengedepankan prinsip politik luar negeri bebas aktif dan perdamaian, Indonesia berada dalam dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia perlu memperkuat pertahanan untuk mengimbangi dinamika kawasan. Di sisi lain, Indonesia harus berhati-hati agar tidak masuk ke pusaran industri militer global yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Fakta bahwa banyak negara maju menjadikan perang sebagai pendorong ekonomi memang ironis, namun itu adalah kenyataan. Perusahaan global memainkan peran dalam mengoperasikan mesin perang demi akumulasi laba, sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi korban secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakstabilan geopolitik menciptakan gejolak ekonomi yang riaknya menghantam tanpa pandang bulu.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus menjaga kemandirian ekonominya. Jangan sampai terseret dalam konflik yang tak kita mulai, tetapi justru kita yang menderita akibatnya. Diplomasi damai harus tetap dijadikan jalan utama. Hanya dengan komitmen pada prinsip moral dan perdamaian, Indonesia bisa tetap berdiri tegak di tengah dunia yang terus bergejolak karena kepentingan segelintir elite.