Sulsel

Kapal Pinisi, Armada Suku Bugis Arungi Samudera

INILAHSULSEL.COM – Lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia. Lagu tersebut bukan sekadar lirik semata, melainkan sebuah kisah tentang para leluhur bangsa di masa lampau.

Salah satu suku yang dikenal sebagai penguasa lautan adalah Suku Bugis. Berasal dari wilayah selatan Pulau Sulawesi, khususnya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mereka menjelajahi dan mengarungi samudra dengan menggunakan perahu pinisi.

Sejarah Kapal Pinisi

Perahu pinisi adalah perahu layar tradisional khas masyarakat Bugis. Ciri khas dari perahu pinisi ialah memiliki dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar berada di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.

Perahu pinisi sudah ada sejak abad ke-14 M, sebagaimana diceritakan dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo. Perahu ini pertama kali dibuat oleh Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu, yang menggunakan pohon welengreng sebagai bahan dasarnya. Sawerigading membangun perahu pinisi untuk melakukan perjalanan menuju Tiongkok.

Ada dua jenis kapal pinisi, yaitu Palari dan Lamba. Palari adalah bentuk awal dari perahu pinisi dengan bagian bawah perahu yang lebar. Palari berasal dari kata ‘untuk berlari’. Bentuk lambung ini mirip dengan lambung kapal Padewakang yang digunakan orang Sulawesi untuk mencari ikan.

Jenis lainnya yakni Lamba atau Lambo. Lamba adalah pinisi modern dengan kemudi di tengah dan dilengkapi dengan motor diesel. Bentuk lambung ini dipakai sejak tahun 1990-an yang mengambil bentukan dari kapal-kapal Eropa.

Lamba atau Lambo lebih cocok digunakan menggunakan mesin karena bentukan ini menggunakan kemudi di tengah yang membuatnya lebih gampang bermanuver.

Kapal pinisi memiliki enam bagian utama yang menjadi ciri khas, seperti Anjong, Sombala, Tanpasere, Cocoro Pantara, Cocoro Tangnga, dan Tarengke.

Proses pembuatan kapal pinisi banyak dilakukan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terutama di tiga desa yaitu Desa Tana Beru, Bira, dan Batu Licin. Pembuatan kapal pinisi pun masih dilakukan secara tradisional dengan teknologi yang telah berkembang sejak 3.000 tahun yang lalu.

Para pengrajin kapal, yang disebut Panrita Lopi, mengandalkan pengetahuan turun-temurun dari nenek moyang mereka dalam pembuatan kapal ini.

Tahapan pembuatan kapal pinisi terbagi dalam tiga tahap, dimulai dari penentuan hari baik untuk mencari kayu, proses pembuatan dan perakitan, hingga peluncuran kapal yang disertai dengan upacara adat.

Pembuatan kapal pinisi tidak sekadar rangkaian pekerjaan, melainkan juga sebuah simbol dari nilai-nilai filosofis yang dimiliki masyarakat Bugis. Nilai-nilai ini adalah kerja sama, keindahan, dan penghargaan terhadap alam.

Dengan demikian, kapal pinisi tidak hanya menjadi sebuah objek fisik yang mengapung di lautan, tetapi juga sebuah simbol kebanggaan dan identitas bagi masyarakat Bugis dan seluruh bangsa Indonesia. Tak heran kalau kapal pinisi masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO (2017).

Back to top button