JPO Rapuh, Mahasiswa Resah

Seperti rangka tulang yang pelan-pelan terkikis karat, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di depan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tampak ringkih menahan beban hari demi hari. Besi-besinya terkelupas, lantainya berlubang, dibiarkan tanpa penerangan memadai—mirip sebuah simbol ketidakpekaan di tengah lalu lintas yang begitu padat. Ketika lampu-lampu jalan berpendar redup menjelang senja, kerangkanya yang suram seolah menegaskan satu hal: tak ada yang benar-benar peduli.
Padahal, JPO ini berdiri di rute yang saban hari dilewati ratusan mahasiswa. Salah satunya Toni Hardiansyah (22), mahasiswa Fakultas Hukum di UIN Jakarta, yang mengaku hanya dua kali menaiki jembatan itu sejak masuk kuliah pada 2021. Ia tinggal di indekos dekat MTS Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, sehingga selalu dihadapkan pada dilema: menyeberang via JPO yang berlubang atau menggunakan zebra cross di depan Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta yang terkadang disergap kemacetan.
“Kalau untuk nyebrang, saya lebih memilih lewat zebra cross depan rumah sakit, karena JPO-nya seram,” ujar Toni, mengenang pengalaman saat pertama mencoba JPO. Lantai jembatan yang banyak bolong, besi berkarat yang menggerus langkah, dan kondisi bergoyang saat diinjak, membuatnya bergidik. “Tidak ada lampu, Bang. Gimana mau aman?”
Tak sedikit mahasiswa yang berbagi rasa takut serupa. Ketika malam tiba, JPO kian mencekam karena penerangan minim. Menurut Toni, risiko menyeberang di zebra cross memang lebih besar—terjebak di antara kendaraan yang melaju—namun ia menilai kecelakaan lebih mudah diantisipasi ketimbang ambruknya jembatan. Di depan UIN sendiri, lalu lintas cenderung macet, tetapi setidaknya ia merasa punya kendali lebih saat bergerak menyeberang ketimbang merayap di jembatan tua.
Ketidaknyamanan ini menyulut tanya soal komitmen pihak berwenang. Toni mengaku heran dengan pejabat lokal yang kerap memasang baliho politik di sekitar kampus, tetapi tampaknya abai pada kondisi JPO yang kian kritis. Ia menilai, ketimbang proyek-proyek yang kurang mendesak, perbaikan jembatan di titik-titik ramai seperti depan kampus lebih bermanfaat.
“Bahkan saya sering lihat banner politikus mau nyalon, Bang. Saya bingung. Pasang banner di situ, tapi seharusnya peka dong sama fasilitas umum yang rusak kayak gini,” Toni mengeluh.
Seruan agar pemerintah membangun JPO baru, yang lebih kokoh dan nyaman, mencuat di kalangan mahasiswa. Bukan hanya Toni, tetapi banyak yang sepakat bahwa JPO baru dekat area kampus akan lebih mendukung mobilitas pejalan kaki. Malah, beberapa mahasiswa beranggapan lebih baik merobohkan saja JPO yang sekarang dan menggantinya dengan konstruksi modern dan aman.
Febriani (21), mahasiswa Tarbiyah UIN Jakarta, pernah pula merasakan ngerinya melintasi jembatan. Ia memilih JPO hanya karena terdesak waktu untuk mengejar kelas pagi. “Agak deg-degan, Bang. Tapi kalau jalanan lagi macet, aku naik JPO aja, kebetulan waktu itu enggak ada orang lain. Rasanya deg-degan sih, tapi ya mau gimana,” tutur Febriani, mengingat suasana tegang saat meniti lantai-lantai karat yang seperti siap lepas kapan saja.
Kondisi JPO ini semakin menguatkan pentingnya perbaikan fasilitas publik—terutama di sekitar kampus, tempat mobilitas mahasiswa dan warga sangat tinggi. Barangkali, kata Febriani, tidak dibutuhkan anggaran raksasa untuk memperbarui lantai-lantai besi yang keropos dan memasang pencahayaan yang layak. “Keselamatan kan nomor satu, Bang. Kasihan yang harus pulang malam atau lagi buru-buru ke kampus. Mau naik jembatan, takut ambruk. Mau lewat zebra cross, ramai,” ucapnya.
Bagi sebagian mahasiswa, tak banyak pilihan lain. Saat jam kuliah padat, kecepatan menyeberang menjadi pertimbangan utama. Namun sayang, JPO yang seharusnya berfungsi memecah kepadatan justru membahayakan pejalan kaki karena minimnya perawatan. Kondisi ini pun memantik keprihatinan lebih luas: jika fasilitas sesederhana jembatan penyeberangan saja terabaikan, bagaimana dengan fasilitas publik lainnya yang juga rentan rusak tanpa sorotan media?
Situasi genting ini membutuhkan reaksi yang tepat. Melalui perbaikan JPO atau pembangunan ulang, pihak berwenang bisa memulihkan rasa percaya publik. Saat ini, setiap kali menatap balok karat yang menganga di atas lalu lintas, mahasiswa yang melintas seolah dihadapkan pada paradoks: begitu banyak baliho janji dan slogan politik, namun begitu sedikit aksi nyata untuk hal-hal fundamental seperti keselamatan.
Sekilas, JPO di UIN Jakarta hanya salah satu dari sekian banyak jembatan pejalan kaki di wilayah perkotaan yang usang. Namun bagi Toni, Febriani, dan ratusan mahasiswa lain, jembatan itu menyimpan pesan yang lebih besar: kesadaran bahwa fasilitas umum adalah cermin kepedulian pejabat kepada warganya. Ketika JPO ini dibiarkan lapuk, maka cermin kepedulian pun tampak pecah berantakan, menampakkan betapa rentannya hak pejalan kaki di tengah hiruk-pikuk lalu lintas.
Sebagai generasi yang haus perbaikan, para mahasiswa berharap ada perubahan signifikan. Mereka menantikan momen di mana keberadaan JPO bukan lagi momok—tempat mereka merasa gelisah karena lantai bergerigi yang siap menjebak langkah, atau langit-langit besi berkarat yang meneteskan ketidakpastian. Di tengah semua serba-rapuh itu, satu hal yang jelas: jika tak segera diambil tindakan, JPO ini akan terus berdiri seperti sosok renta yang menghitung detik menuju keruntuhan—sementara derap kaki mahasiswa UIN tetap berseliweran mencari jalan selamat.Â
Â