Market

Jika Konflik Iran-Israel Berlanjut, Ini Empat Risiko untuk Indonesia


Iran-Israel memang sudah gencatan senjata. Tapi bukan mustahil mereka akan kembali memanas dan saling serang lagi. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad khawatir gencatan cuma ‘omon-omon’. Dia pun mewanti-wanti empat risiko yang bisa terjadi jika kedua negara itu kembali saling serang.

Risiko pertama adalah terganggung jalur perdagangan internasional, karena besar kemungkinan Selat Hormuz akan ditutup Iran.

“Ada empat hal yang harus dilihat, pertama bagaimana ketika katakanlah nanti kalau Selat Hormuz benar-benar ditutup, kemungkinan harga minyak bisa tembus di atas USD100 ini akan sangat akan berpengaruh pada harga BBM, subsidi, inflasi, current account defisit terutama dari transaksi perdagangan BBM ini akan sangat berpengaruh,” ucap Tauhid secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia’, dipantau di Jakarta, Minggu (29/6/2025).

Kedua, kata dia, ketidakpastian di pasar keuangan. Tauhid bilang, para pemilik uang akan mencari negara mana yang paling aman, atau bisa jadi beralih dari investasi saham menjadi emas. “Lalu apa dampaknya ke kita? Polanya ke capital outflow, nilai tukar atau yang ISBN-nya lebih tinggi,” ujarnya.

Baca Juga:  BRI Liga 1 2024/2025 Ditutup Dengan Sukses, BRI Buktikan Sepak Bola Sebagai Sarana Sinergi Pemberdayaan Olahraga dan UMKM

Ketiga, berkaitan dengan logistik dan rantai pasok yang akan terganggu, terutama di Timur Tengah. Para pengusaha distribusi logistik akan akan mencari jalur yang lebih aman. Situsai ini, tutur dia, akan mengakibatkan biaya asuransi, logistik, termasuk daya saing produk dan market di kawasan yang melalui selat di Timur Tengah maupun Selat Hormuz. “Termasuk ke Suez itu relatif mengganggu pasar kita,” tutur Tauhid menambahkan.

Terakhir, mengenai aspek sosial, politik domestik dan internasional. Ia menilai pada aspek ini akan membuat fenomena anti Israel semakin meluas.

“Saya kira ini sulit dihindari, namun yang lebih fatal adalah peran BRICS tidak menjadi suatu media, bahkan tidak ketemu dengan pemimpin untuk menurunkan ketegangan, sehingga peran BRICS dipertanyakan,” tandas Tauhid.

Baca Juga:  Partai Golkar Dukung Bahlil Lahadalia Hentikan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat

Hal senada juga sempat disampaikan pengamat hubungan internasional, Robi Sugara. Dia bilang gencatan senjata tak menyurutkan tensi kedua negara. Sebab, gencatan ini lahir bukan atas kemauan kedua belah pihak yang sedang bertikai melainkan dari pihak ketiga. Tentu para pelaku bisnis melihat ini bukan sebagai sinyal aman, ketegangan bisa pecah kapan saja. Melintasi Selat Hormuz bukan opsi yang tepat untuk saat ini. “Sehingga pelaku ekonomi masih was-was dalam kondisi ini, karena saya kira ini hanya juga sedikit saja (redamnya),” ujarnya saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Diketahui, meskipun Selat Hormuz masih terbuka dan lalu lintas kapal terus berlangsung secara komersial, namun sejumlah asosiasi pelayaran dan otoritas keamanan maritim global memperingatkan risiko eskalasi yang meningkat dari Iran dan kelompok sekutunya, termasuk Houthi di Yaman.

Data pelacakan AIS menunjukkan sekitar selusin kapal tengah berlayar di jalur pemisah lalu lintas Hormuz pada Senin pagi waktu setempat, sebagian besar menuju arah timur. Namun, gangguan sinyal GPS dan kapal yang berlayar tanpa sinyal AIS (“dark ships”) membuat situasi di perairan tersebut tidak sepenuhnya terpantau.

Baca Juga:  BPK Temukan Boros Subsidi Pupuk Rp2,83 T, Ekonom: Ganti Dua Direksi Pupuk Indonesia

Kementerian Pelayaran Yunani telah meminta para pemilik kapal untuk pikir ulang soal keputusan berlayar melewati Selat Hormuz. Jika tetap melintas, mereka diminta meningkatkan level keamanan, menjaga jarak aman dari wilayah perairan Iran, dan mencatat detail kejadian secara menyeluruh.

Baltic and International Maritime Council (BIMCO)  juga memperingatkan risiko tinggi di Laut Merah dan Teluk Aden setelah Houthi menyatakan kembali niatnya menyerang kapal yang terafiliasi dengan Amerika Serikat dan Israel. Namun, kapal dagang lain pun tidak luput dari potensi risiko serangan salah sasaran.

Ancaman dari Houthi terhadap pelayaran di Laut Merah kini meningkat. Serangan terhadap kapal dagang di luar afiliasi Israel atau AS tidak bisa dikesampingkan,” ujar Kepala Keamanan BIMCO, Jakob Larsen, seperti dilansir oleh Maritime Executive.

Back to top button