Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf menyatakan wajar bila pelaku korupsi tidak pernah kapok, karena hukuman yang didapat kerap ringan. Seperti vonis ringan terhadap Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana.
“Itulah, negeri ini koruptor dituntut dan divonis ringan sehingga pelaku korupsi tidak pernah kapok, karena jadi koruptor menguntungkan apalagi koruptor dapat perbedaan perlakuan di dalam menjalani hukuman,” ujar Hudi kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Ia juga menilai, denda yang dikenakan terhadap pelaku pun terbilang sangat rendah. Padahal, kata dia, seyogyanya ada pengembalian kerugian negara sejumlah kerugian negara yang di korupsi oleh Budi.
“Hukuman ringan membuat tidak pernah jera para koruptor dan calon koruptor baru, seyogyanya koruptor di hukum 1500 tahun tanpa kesempatan bebas. Dan harus kerja sosial seumur hidup, seperti membersihkan jalan raya, membangun jembatan menggunakan rompi oranye sehingga dia menjadi tontonan masyarakat, saya jamin itu membuat koruptor dan calon koruptor menjadi jera,” tuturnya.
Hudi mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding apabila pasal yang didakwakan dan yang diputuskan oleh hakim berbeda.
“Atau putusannya yang dijatuhkan majelis hakim kurang dari 50 persen atau pas 50 persen dari tuntutan jaksa. Yang perlu didalami mengapa tuntutan JPU ringan misalnya,” tandas Hudi.
Diketahui, Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti menyatakan, Budi bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaannya dalam proyek pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kemenkes, yang mengakibatkan kerugian negara.
“Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun,” kata Hakim Syofia saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Selain pidana penjara, Budi juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta. Jika tidak dibayar, denda tersebut akan digantikan dengan pidana kurungan selama dua bulan.
“Serta denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 2 bulan,” tambah hakim.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa hal yang memberatkan adalah Budi dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan telah menurunkan kepercayaan publik terhadap Kementerian Kesehatan. Sementara itu, hal yang meringankan adalah Budi bersikap sopan selama persidangan dan memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
Budi terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kedua. Namun, hakim tidak menjatuhkan pidana pengganti karena Budi tidak menikmati secara langsung hasil dari tindak pidana korupsi tersebut.
Vonis yang dijatuhkan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, jaksa menuntut Budi dengan pidana empat tahun penjara serta denda sebesar Rp200 juta. Jika tidak dibayar, denda itu akan diganti dengan kurungan selama tiga bulan.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut para terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam proyek pengadaan APD di Kemenkes.