Kanal

Indonesia tak Boleh Menjilat Pantat Trump


The worst thing you can possibly do in a deal is seem desperate to make it. That makes the other guy smell blood, and then you’re dead.
—Donald Trump, The Art of the Deal (1987)

Pilihan Indonesia untuk bernegosiasi daripada melakukan retaliasi terhadap deklarasi tarif timbal balik Presiden Trump tidaklah mengherankan. Namun, Indonesia tampaknya menyerah terlalu banyak dan terlalu dini. Meski saya setuju bahwa jalur negosiasi merupakan pilihan yang paling masuk akal, pendekatan Jakarta yang berfokus pada pengaruh Amerika Serikat dan kerentanan Indonesia mungkin bukan cara terbaik untuk menghadapi Donald Trump.

Seperti yang ditulis oleh Trump sendiri dalam bukunya The Art of the Deal tahun 1987: “Don’t let them see you sweat!” Terlihat putus asa, tidak menggunakan daya tawar, dan “membuka kartu” adalah beberapa kesalahan terburuk yang dapat dilakukan orang ketika mereka bernegosiasi. Sayangnya, ada kesan kuat bahwa Indonesia menunjukkan gejala-gejala tersebut.

Bahkan sebelum delegasinya berangkat ke Washington, pemerintah Indonesia telah menawarkan banyak konsesi, mulai dari janji untuk mengimbangi defisit perdagangan AS dengan membeli gas, minyak, dan produk pertanian AS senilai USD 18 miliar, hingga reformasi regulasi tentang persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), kuota impor, serta pengurangan semua tarif barang AS. Setelah kembali dari Washington dan periode negosiasi 60 hari disepakati, ada pernyataan lebih lanjut tentang kritik AS terhadap sistem pembayaran QRIS, perlindungan hak cipta, dan sertifikasi halal. Pemerintah juga melontarkan rencana untuk membeli pesawat tempur F-15EX senilai USD 8 miliar dari Boeing. Indonesia harus menggunakan periode negosiasi 60 hari tersebut sebagai kesempatan untuk merumuskan respons yang lebih komprehensif terhadap tarif Trump dengan menyeimbangkan mitigasi dampak jangka pendek dan ketahanan jangka panjang.

Jakarta perlu menyiapkan respons terhadap Trump dengan cakrawala yang lebih luas dan lebih panjang. Lebih luas karena hal ini melampaui kalkulasi perdagangan dan ekonomi. Lebih panjang karena itu bukan satu-satunya amunisi di gudang senjata Trump untuk membengkokkan Tatanan Internasional. Terburu-buru menyetujui kesepakatan yang tidak seimbang hanya akan membuat Indonesia semakin rentan.

Baca Juga:  Krisis Gaza dan Urgensi Diplomasi Total Indonesia

Respons Jangka Pendek: Negosiasi Berprinsip

Dalam jangka pendek, Indonesia memerlukan negosiasi yang berprinsip dengan pendekatan yang tenang dan mantap, daripada terburu-buru memberikan apa saja yang membuat Trump senang. Biaya dan manfaat dari konsesi apa pun yang akan diajukan perlu dinilai dengan jelas. Tidak boleh hanya mempertimbangkan dampak ekonomi dan hubungan bilateral antara Indonesia dan AS, tetapi juga dampaknya terhadap hubungan ekonomi dan politik Indonesia dengan negara lain. Indonesia harus menghindari terburu-buru membuka semua kartu. Indonesia harus fokus pada langkah-langkah yang layak dan berpotensi menguntungkan, seperti beberapa reformasi tata kelola. Tidaklah bijak untuk mengikat janji membeli lebih banyak gas, minyak, produk pertanian, dan senjata dari AS hanya untuk mengimbangi defisit perdagangan AS, apalagi menjanjikan jumlah tertentu. Menyerahkan kedaulatan dengan mengikuti tuntutan untuk membatalkan QRIS dan GPN seharusnya bahkan tidak perlu masuk dalam pembicaraan.

Indonesia harus dengan jelas mengirim pesan kepada AS dan negara-negara besar lainnya bahwa kesediaan Jakarta untuk bernegosiasi adalah “niat baik” dan bukan “kapitulasi” (atau “menjilat pantat”). Tentu saja, Indonesia bukan satu-satunya yang menawarkan konsesi. Karena keunggulan AS dalam ekonomi global, hanya sedikit negara yang berani menantang Trump secara terbuka. Vietnam, yang diancam dengan tarif 46% oleh AS, dengan cepat menawarkan Trump untuk mengurangi tarifnya untuk semua barang AS menjadi 0%. Langkah ini dapat dimengerti, karena AS adalah pasar ekspor terbesar Vietnam dengan pangsa 30%. Namun, penting juga untuk dicatat bahwa Vietnam pada saat yang sama juga menyerukan AS untuk melakukan hal yang sama, sementara secara bersamaan meningkatkan pengaruhnya dengan menyambut kunjungan Presiden Xi. Jepang dan Korea Selatan juga mengisyaratkan kesediaan untuk memberikan konsesi dengan berbicara tentang ketidakseimbangan perdagangan dan minat awal mereka untuk berinvestasi dalam proyek pipa untuk mengekspor gas alam cair dari Alaska, tetapi pada saat yang sama bersikeras bahwa mereka tidak akan dipaksa ke dalam kesepakatan yang berat sebelah. Perdana Menteri Ishiba mengatakan kepada Parlemen Jepang bahwa pemerintahnya tidak akan “memberikan konsesi besar demi menyelesaikan negosiasi dengan cepat.”

Baca Juga:  Gaji Ditambah Wakil Tuhan Tetap Serakah

Jangka Panjang: Memperkuat Sistem Internasional

Selain dampak langsung yang diantisipasi melalui kebijakan ekonomi dan negosiasi, ada dampak lain yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Ini adalah dampak yang bersifat sistemik. Kebijakan tarif Donald Trump berisiko menghadirkan perubahan sistemik dalam struktur ekonomi-politik global, yang dapat mengancam landasan bagi pembangunan ekonomi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Meskipun, misalnya, kita dapat bernegosiasi dan menurunkan tarif untuk Indonesia sekaligus mengurangi dampak dari kejutan tarif tersebut, kalau fondasi bagi pembangunan ekonomi ini goyah, maka kita juga tidak akan mampu tumbuh dengan baik—apalagi mencapai visi Indonesia Emas.

Dampak sistemik ini bisa mewujud dalam tiga bentuk. Pertama, kebijakan tarif Trump ini dapat mengakhiri riwayat dari rezim perdagangan internasional pasca-Perang Dunia II yang turut dibangun oleh AS sendiri. Rezim ini didasarkan pada prinsip multilateralisme dan keyakinan bahwa perdagangan yang lebih bebas akan membawa kesejahteraan bagi semuanya. 

Meskipun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya terbukti dan negara-negara berkembang seperti Indonesia terus menyatakan keprihatinannya tentang bagaimana sistem ekonomi yang terlalu liberal sering kali menutup ruang pembangunan, rezim perdagangan pasca-PD II—terutama pasca-Perang Dingin—memberikan derajat kepastian yang memungkinkan negara-negara dan aktor-aktor ekonomi melakukan berbagai transaksi internasional secara terukur. Kebijakan tarif Trump yang sepihak dan semena-mena ini menabrak konsensus tersebut, menghadirkan ketidakpastian tinggi yang akan membuat negara-negara menjadi lebih proteksionis dan menutup diri. Jika perubahan ini tidak terbendung, negara-negara yang membangun ekonominya dengan berorientasi ekspor akan dipaksa mencari model ekonomi yang berbeda.

Kedua, kebijakan tarif Trump ini berdampak sistemik karena mengubah norma-norma fundamental dalam interaksi antarnegara. Meskipun banyak yang percaya bahwa pada dasarnya hubungan internasional tidak pernah sepenuhnya lepas dari prinsip might is right, setidaknya dalam tatanan internasional yang sedang memudar hari ini, ada norma dan institusi yang memfasilitasi upaya mengelola perbedaan kepentingan melalui mekanisme multilateral. Trump, jika tidak mendapatkan respons balik yang memadai, akan menghadirkan dunia yang secara eksplisit menjadikan hukum rimba sebagai norma. Dialog antara utusan Athena dan rakyat Melos dalam Dialog Melia akan menjadi dogma: “Yang kuat dapat melakukan yang dia inginkan, dan yang lemah harus menerima apa yang harus ia derita.”

Baca Juga:  Menakar Ulang Konsumsi Rokok dalam Agenda Pembangunan Gizi

Dalam dunia seperti itu, meskipun kita berhasil meminta keringanan tarif dari Trump, masalah tidak selesai. Negara-negara yang tidak sekuat AS atau Tiongkok, termasuk Indonesia, akan berada dalam situasi rentan terus-menerus. Kita akan terus diperas dan ditekan oleh negara-negara yang lebih besar dan kuat secara ekonomi dan militer.

Ketiga, dan ini yang paling mengkhawatirkan, runtuhnya rezim perdagangan multilateral dan anjloknya perdagangan dunia biasanya diikuti oleh kehadiran persaingan ekonomi yang lebih intens serta pembauran antara ekonomi dan geopolitik yang makin pekat. Saat rezim standar emas yang menopang Belle Époque atau zaman keemasan globalisasi yang pertama runtuh di awal abad ke-20, perdagangan internasional anjlok dan dunia segera terseret dalam dua perang dunia yang katastrofik. Seperempat awal abad ke-21 ini semakin mirip dengan seperempat awal abad ke-20, dan kita bisa dikutuk mengulang sejarah Perang Dunia jika tidak belajar dan bersiap.

Kita punya kepentingan untuk memastikan bahwa “taman internasional” yang menjadi tempat ekonomi Indonesia bertumbuh terus menjadi lingkungan yang kondusif. Indonesia perlu membangun langkah bersama dengan negara-negara middle power maupun kelompok ekonomi yang memiliki kepentingan serupa dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik global. Indonesia perlu mengonsolidasikan langkah bersama dengan ASEAN, ASEAN+3, negara-negara Selatan, negara-negara anggota CP-TPP, serta Uni Eropa untuk mendorong hadirnya rezim perdagangan internasional yang didasarkan pada multilateralisme yang lebih inklusif—tanpa harus bergantung pada AS.

Back to top button