Hukum Indonesia di Persimpangan Jalan: Evaluasi Awam Pasca Vonis Harvey Moeis
Pertimbangan hakim yang menyebut sikap sopan terdakwa, tanggungan keluarga, dan statusnya sebagai orang yang belum pernah dihukum sebelumnya sebagai alasan meringankan hukuman, memperlihatkan betapa lemahnya standar moral yang diterapkan. Cicero pernah berkata, “The foundation of justice is good faith.” (Pondasi keadilan adalah niat baik.) Tapi di mana letak niat baik itu, jika hukum kini seolah bisa diperdagangkan seperti komoditas di pasar gelap?
Hingga pekan ini, menurut saya public masih saja terguncang atas kasus vonis Harvey Moeis yang dianggap terlalu ringan, bahkan seolah memanjakan koruptor penghancur negara. Keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara—lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun—dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan.
Pertimbangan seperti “sikap sopan selama persidangan” dan “memiliki tanggungan keluarga” sebagai alasan meringankan hukuman menjadi bahan kritik tajam. Apakah ini gambaran bahwa hukum di Indonesia memang acakadut?
Ganjil dan Melukai Akal Sehat
Hakim seharusnya menjadi penjaga terakhir keadilan. Adagium tekenal di jagat hukum, yakni “Fiat Justitia Ruat Caelum”–keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit runtuh, menjadi bukti betapa signifikannya fungsi hakim.
Namun, vonis Harvey Moeis justru menunjukkan betapa rentannya sistem hukum kita terhadap subjektivitas. Hakim menganggap peran Harvey dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk tidak signifikan, sehingga tuntutan 12 tahun dinilai terlalu berat. Namun, logika ini justru melecehkan akal sehat publik. Jika korupsi skala besar seperti ini dianggap “tidak signifikan,” bagaimana mungkin keadilan bisa ditegakkan?
Pertimbangan hakim yang menyebut sikap sopan terdakwa, tanggungan keluarga, dan statusnya sebagai orang yang belum pernah dihukum sebelumnya sebagai alasan meringankan hukuman, memperlihatkan betapa lemahnya standar moral yang diterapkan. Cicero pernah berkata, “The foundation of justice is good faith.” (Pondasi keadilan adalah niat baik.) Tapi di mana letak niat baik itu, jika hukum kini seolah bisa diperdagangkan seperti komoditas di pasar gelap?
Contoh lain dari keputusan ganjil yang melukai rasa keadilan publik adalah vonis ringan bagi pelaku korupsi besar dibandingkan dengan hukuman berat untuk pelanggaran kecil. Seorang pencuri sandal atau ayam bisa dijatuhi hukuman lebih berat daripada koruptor yang merampas hak rakyat. Benjamin Disraeli pernah berkata, “Justice is truth in action.” (Keadilan adalah kebenaran yang diwujudkan dalam tindakan.) Namun, apa yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa kebenaran sering kali dimanipulasi demi keuntungan segelintir orang.
Mafia Hukum dan Kuasa Uang
Keputusan ringan untuk Harvey Moeis dan pelaku korupsi lainnya kembali menegaskan kecurigaan public tentang keberadaan mafia hukum. Dari penyelidikan hingga keputusan pengadilan, hukum sering kali menjadi arena permainan uang dan kekuasaan. Hakim, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, kerap kali terjebak dalam jejaring ini.
Kritik keras bahkan datang dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Ia menyoroti sikap hakim yang tersenyum saat Harvey Moeis berpelukan dengan istrinya setelah vonis dijatuhkan. “Apakah ini wajah hukum kita?” tanyanya retoris. Kejaksaan Agung juga menilai ada subjektivitas dalam pertimbangan hakim yang menganggap tuntutan jaksa terlalu berat, padahal sudah sesuai dengan kesalahan terdakwa.
Tidak hanya dalam kasus ini, mafia hukum juga terlihat dalam pembebasan kontroversial beberapa pelaku korupsi melalui vonis Mahkamah Agung yang mencurigakan. Dalam konteks ini, Nietzsche mengingatkan kita: “Whoever fights monsters should see to it that in the process he does not become a monster.” (Siapa pun yang melawan monster harus berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri.) Namun, apakah para penegak hukum kita telah berubah menjadi monster yang mereka lawan?
Evaluasi Kinerja Komisi Yudisial
Sebagai lembaga pengawas hakim, Komisi Yudisial (KY) memiliki peran penting dalam menjaga integritas peradilan. Namun, efektivitas KY dalam lima tahun terakhir kerap dipertanyakan. Berdasarkan laporan tahunan, ribuan laporan pelanggaran etik hakim diterima KY setiap tahun, tetapi hanya sebagian kecil yang diproses hingga tahap sanksi.
Pada 2023, KY hanya memberikan rekomendasi sanksi terhadap 17 hakim dari lebih dari 1.000 laporan yang masuk. Masalah utama, menurut Prof. Aidul Fitriciada Azhari, mantan Ketua KY, adalah keterbatasan kewenangan. “KY hanya bisa merekomendasikan sanksi etik, sementara keputusan final tetap ada di Mahkamah Agung,” katanya. Hal itu menyebabkan pengawasan menjadi tumpul dan tidak efektif.
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis juga menyoroti lemahnya visi KY. Menurutnya, “KY terlalu reaktif dan kurang memiliki strategi jangka ublic dalam memperbaiki peradilan. Pengawasan tidak cukup jika tidak ada perbaikan ublic ral.” Kritik ini menjadi relevan ublic ublic melihat bagaimana mafia hukum tetap beroperasi dengan leluasa di berbagai tingkat pengadilan.
Membangun Kembali Kepercayaan Publik
Gambaran “acakadut”nya profil hukum di Indonesia mendatangkan pikiran bahwa jelas reformasi hukum tidak bisa dilakukan setengah hati. Jika hukum ingin kembali menjadi pilar keadilan, beberapa langkah perlu segera dilakukan. Pertama, transparansi harus menjadi landasan utama dalam setiap proses hukum. Publik berhak mengetahui apa yang terjadi di balik meja hijau, termasuk bagaimana hakim membuat keputusan.
Kedua, integritas hakim harus dijaga melalui seleksi ketat, pelatihan berkelanjutan, dan pengawasan yang lebih efektif. KY perlu diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi langsung kepada hakim yang melanggar etik, tanpa harus tergantung pada Mahkamah Agung. Selain itu, evaluasi independen terhadap kinerja KY juga harus dilakukan untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya.
Ketiga, pendidikan hukum harus menekankan moralitas dan etika, bukan sekadar teknis hukum. Calon hakim, jaksa, dan pengacara harus diajarkan bahwa hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sekadar profesi untuk mencari nafkah.
John Adams pernah berkata, “Government is instituted for the common good; for the protection, safety, prosperity, and happiness of the people.” (Pemerintahan dibentuk untuk kebaikan bersama; untuk perlindungan, keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan rakyat.) Prinsip ini harus menjadi jiwa dari lembaga peradilan kita.
Vonis Harvey Moeis telah membuka kembali luka lama dalam sistem hukum Indonesia. Namun, ini bukan akhir dari segalanya. Dengan keberanian untuk melakukan reformasi struktural dan kultural, hukum Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit. Kepercayaan publik hanya dapat dipulihkan jika hukum benar-benar menjadi pelindung keadilan, bukan alat manipulasi.
Sebagaimana Gandhi pernah berkata, “Justice that love gives is a surrender, justice that law gives is a punishment.” (Keadilan yang diberikan oleh cinta adalah penyerahan diri, keadilan yang diberikan oleh hukum adalah hukuman.) Hukum Indonesia harus melampaui sekadar menghukum; ia harus menciptakan keadilan yang hidup di hati rakyat. [ ]