News

Guru Besar Unair Soroti KPU: Kinerja Tak Sesuai UU, Rawan Diintervensi

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti menilai adanya peluang indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Menurut dia, hal ini antara lain dipicu kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tak sesuai undang-undang (UU).

“Pertama, pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Pada daftar bakal calon sebagaimana merujuk pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Nah ini apa anggota KPU tidak bisa menghitung atau bagaimana, atau hanya dibaca 30 persen saja, tidak disebut (kata) paling sedikit,” kata Ramlan dalam diskusi bertajuk ‘Jaga Kualitas Pemilu: KPU Patuh pada Putusan MA – DKPP Tegas Sanksi Penyelenggara’, seperti dipantau di Jakarta, Jumat (6/10/2023).

Baca Juga:  Zelenskyy Tolak Ikut Permainan Putin, tak Jamin Keselamatan Tamu Asing ke Moskow

Dia menjelaskan, pasal itu sejatinya merupakan political will dari partai politik (parpol) di DPR dan pemerintah.

“Saya ambil contoh dapil DPR Jatim 1 yaitu Kota Surabaya dan Sidoarjo itu mendapat 10 kursi, maka setiap parpol peserta pemilu wajib mengajukan daftar bakal calon sebanyak 30 persen dari 10, yaitu 3,33 kan.

“Jika dibulatkan ke bawah, maka menjadi tiga orang saja dan akan kurang dari 30 persen angka keterwakilan perempuan, yang artinya melanggar ketentuan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245,” ujar Ramlan melanjutkan.

Atas dasar itu, mantan ketua umum KPU periode 2004-2007 ini mempertanyakan apakah ketua KPU dan anggotanya saat ini tidak mengetahui mengenai mekanisme penghitungan tersebut.

Baca Juga:  Momen Hardiknas, Pramono Kembali Serahkan 371 Ijazah Siswa yang Ditahan Sekolah

“Saya (mencoba) berpikir positif mereka tahu. Yang benar adalah setiap parpol peserta pemilu mengajukan empat orang perempuan itu dibulatkan ke atas sehingga memang melebihi 30 persen,” ujarnya.

Selain itu, Ramlan pun membeberkan bagaimana parpol sejak dahulu sudah berusaha mengintervensi KPU. Sebagai contoh, setelah Pemilu 2004 setelah UU Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan bahwa anggota parpol dapat menjadi anggota KPU.

“Sebelum dilantik dia harus mengundurkan diri. Itu upaya mereka itu setelah Pemilu 2004. (Namun) Diajukan (digugat) ke MK lalu dibatalkan. Setelah itu pada pemilu berikutnya, (ada ketentuan) sebelum KPU mengesahkan PKPU (harus) berkonsultasi dulu dengan DPR dan pemerintah, hasil konsultasinya mengikat,” ucap Ramlan.

Baca Juga:  Jumlah Anak di Jepang Turun Selama 44 Tahun Berturut-turut, Catat Rekor Baru

“Saya waktu itu mengatakan kalau konsultasi sih sah-sah saja. Digugat lagi (soal) mengikat itu, MK mengatakan hasil konsultasi sangat konstitusional, tetapi sepanjang tidak mengikat. Gagal juga upaya parpol ini,” sambungnya.

Tak cukup sampai di situ, Ramlan kini kembali melihat upaya parpol mengintervensi. Upaya ini tampak vulgar.

“Ini kenapa? Kok bisa dipengaruhi. Padahal apa arti mandiri menurut UU itu berarti KPU terbebas dari pengaruh siapapun dalam tugas dan kewenangannya,” ujar Ramlan menegaskan.
    

Back to top button