Murid-murid menyalakan kamera, login dengan akun Google, menyimpan tugas di cloud yang tidak mereka kuasai. Batas antara ruang aman dan ruang pengawasan makin kabur. Di tengah seruan ‘merdeka belajar’ ada paradoks yang tak dibicarakan: Bagaimana bisa kita bicara kebebasan kalau privasi saja tak dijaga?
Pandemi COVID-19 menjadi katalis yang mempercepat peleburan kehidupan nyata dan virtual, memaksa digitalisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Momentum lahirnya kebijakan ‘digitalisasi pendidikan’ dan ‘merdeka belajar’ eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim di era kepemimpinannya, periode 2019-2024.
Alih-alih merancang sistem pendidikan digital yang mandiri, Nadiem memilih jalan pintas dengan mempercayakan Google sebagai operatornya, mulai dari penggunaan Google Form untuk kegiatan belajar mengajar, hingga pengadaan laptop berbasis OS Google alias Chromebook, sebagai perangkat penunjang siswa untuk belajar.
Dan boom! Semua dibuat terperangah ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus permufakatan jahat dan mengungkap dugaan korupsi dalam proses pengadaannya. Hitungan kasar sementara, potensi kerugian negara nyaris Rp10 triliun. Kini proses hukum masih berjalan, dan sorotan kian tajam lantaran belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Kejanggalan pengadaan ini sempat disinggung David, seorang YouTuber spesialis review gawai di kanal Gadgetin, pada 2021 lalu.
Ulasannya kala itu menyebut, laptop Chromebook yang pengadaannya memakan biaya Rp10 juta/unit, ternyata spesifikasinya setara dengan laptop murah seharga Rp4 jutaan. Sayang ucapannya dianggap angin lalu. Publik lebih percaya Nadiem si bos perusahaan aplikasi Gojek ketimbang influencer.
Kerugian yang kita derita lebih dari sekadar uang, tetapi terancamnya kedaulatan data. Sihir ‘digitalisasi pendidikan’ dan ‘merdeka belajar’ ala Nadiem membuat orang terbuai, tanpa sadar kita terjebak dalam jaringan platform digital yang saling terhubung, di mana setiap interaksi direkam, dianalisis, dan dimonetisasi.

Entah ceroboh atau memang ada kongkalikong antara Nadiem—dan kelompoknya—dengan Google. Yang jelas, ketika data yang merupakan aset digital berharga diserahkan ke pihak ketiga tanpa kontrol dan regulasi ketat, sama saja dengan menyerahkan kedaulatan data. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, diwajibkannya penggunaan Google Form dan perangkat Chromebook, artinya secara implisit kementerian yang mewakili negara memberi akses ke entitas asing untuk mengelola data berskala besar dari seluruh ekosistem pendidikan.
Dia bilang, kebijakan Nadiem adalah pengabaian atas prinsip kedaulatan secara telanjang dan terang-terangan. Padahal, sambung dia, pendidikan adalah investasi masa depan bangsa dan data pendidikan merupakan cetak biru dari masa depan itu sendiri.
“Apa jaminannya data tersebut tidak disalahgunakan? Bagaimana kita bisa yakin data itu tidak menjadi komoditas untuk kepentingan bisnis Google? Hingga kini, kita tidak pernah mendapatkan penjelasan transparan mengenai bagaimana data tersebut dikelola, di mana disimpan, dan apakah ada perjanjian yang mengikat Google untuk tidak memanfaatkan data tersebut di luar kepentingan pendidikan,” ucapnya saat berbincang dengan Inilah.com, Kamis (5/6/2025).
Kekhawatiran Ubaid bukan isapan jempol, tetapi sudah diwanti-wanti oleh Shoshana Zuboff, seorang penulis, profesor, psikolog sosial dan filsuf asal Amerika Serikat (AS). Lewat bukunya bertajuk ‘The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power,’ dia memperingatkan dunia yang sedang memasuki era ‘kapitalisme pengawasan’.
Perusahaan teknologi seperti Google menemukan potensi besar dalam mengolah data pengguna untuk memprediksi perilaku konsumen. Penemuan ini membuka pintu bagi terciptanya pasar prediksi yang sangat menguntungkan, mengubah lanskap ekonomi digital secara fundamental.

Google ataupun perusahaan teknologi lainnya, menggunakan mekanisme canggih untuk mengekstraksi nilai dari data pribadi pengguna. Tidak hanya mengontrol arus informasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membentuk persepsi, mempengaruhi keputusan, dan bahkan memanipulasi perilaku masyarakat luas. Mereka mengembangkan algoritma yang mampu menganalisis pola perilaku, preferensi, bahkan emosi dengan tingkat akurasi yang mencengangkan. Data ini kemudian digunakan untuk membuat prediksi yang sangat bernilai bagi pengiklan.
Dalam analisis setebal 700 halaman, Zuboff mengkritisi perilaku Google—termasuk perusahaan teknologi lainnya—yang mengklaim kepemilikan atas data yang mereka kumpulkan, seolah-olah itu adalah hasil panen dari lahan mereka sendiri. Padahal, data tersebut adalah cerminan dari kehidupan pribadi dan pengalaman kita sehari-hari. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kepemilikan data dan hak individu atas informasi pribadinya.
Melalui bukunya Zuboff ingin membuka mata dunia soal pentingnya regulasi ketat untuk membatasi manuver raksasa teknologi seperti Google. Dia mengatakan, perilaku abai harus segera dihentikan. Perlu adanya pembatas yang bisa merebut kembali kesetaraan hak digital tanpa kapitalisme pengawasan.
“Regulasi! Inilah yang paling ditakuti oleh perusahaan teknologi. Kapitalisme pengawasan telah berjalan selama 20 tahun tanpa hambatan hukum. Tetapi masih sangat muda. Pasar yang memperdagangkan masa depan manusia adalah ilegal, seperti perdagangan budak,” tulis Zuboff tegas dalam bukunya.
Kolaborasi Koruptif
Patut dicurigai ada hubungan simbiosis mutualisme antara Nadiem dengan Google. Asal tahu saja, penyidik Jampidsus Kejagung telah resmi meningkatkan status kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025.
Penyidik juga telah menggeledah dua unit apartemen yang diduga milik mantan staf khusus (stafsus) Nadiem, yaitu Fiona Handayani (FH) dan Jurist Tan (JT), pada Rabu, 21 Mei 2025. Lokasi penggeledahannya, Apartemen Kuningan Place dan Apartemen Ciputra World 2, Jakarta Selatan.
Dari hasil penggeledahan, penyidik menyita 24 barang bukti yang terdiri dari 9 barang bukti elektronik dan 15 dokumen, termasuk buku agenda, laptop, dan ponsel. Selain itu, penyidik juga telah memeriksa 28 saksi, termasuk dua mantan staf khusus Nadiem.
Kejagung nampaknya perlu kerja ekstra. Karena dugaan kolaborasi koruptif ini tak sebatas pengadaan laptop semata ataupun kewajiban penggunaan Google Form dalam kegiatan pendidikan. Ada juga kerja sama lain antara Kemendikbudristek dengan Google dalam mengembangkan aplikasi bernama Belajar.id, digunakan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari berbagai satuan pendidikan untuk mengakses beragam platform pembelajaran.

Dilansir dari laman Direktorat Jenderal SMP Kemendikbudristek, ada delapan platform yang bisa diakses dari Belajar.id, yakni Google Workspace for Education, Chromebook, Rapor pendidikan, platform Merdeka Belajar, SIMPKB, Tanya BOS, Rumah Pelajar dan Canva for Education.
“Kami telah bekerja sama dengan Kemendikbudristek sejak 2019 dalam pemanfaatan teknologi Google untuk menopang kemajuan Pendidikan di Indonesia dan sebagai sumber bahan belajar dan mencari informasi bagi siswa, sehingga siswa dapat lebih mandiri,” kata Country Lead Google for Education di Indonesia Olivia Basrin, pada acara rilis laporan Future of Education yang diadakan di Jakarta, Senin 22 Mei 2023.
Kolaborasi Kemendikbudristek era Nadiem dengan Google bukan saja di tingkat sekolah, tetapi juga menyentuh level perguruan tinggi. Melalui program kerja sama bertajuk ‘Bangkit Academy’ Nadiem menyalurkan para mahasiswa mengikuti kegiatan sertifikasi teknologi bidang Machine Learning, Mobile Development, dan Cloud Computing. Yang menarik, kerja sama ini turut melibatkan GoTo, induk perusahaan yang menaungi Gojek, perusahaan aplikasi besutan Nadiem.
Kejagung perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap keterlibatan Google dalam permufakatan jahat ini. Karena jika ditilik dari sejumlah informasi terbuka, diketahui Nadiem kerap melakukan pertemuan dengan petinggi Google menjelang pengadaan ini.
Informasi yang dihimpun diketahui setidaknya ada tiga pertemuan di Bali dan Jakarta. Dan ada pertemuan dengan sejumlah tim yang ditunjuk Nadiem untuk bertemu petinggi Google di kantor Pusat Google di Palo Alto, California Amerika Serikat. Informasi lainnya menyebut, bahwa suami Jurist Tan—eks stafsus Nadiem—diduga adalah salah satu petinggi Google Asia Tenggara, yang merupakan warga negara Australia.
Sesungguhnya Nadiem bukan kali pertama berurusan dengan Google. Jauh sebelum dirinya diangkat sebagai menteri, ia sudah sering berkolaborasi dengan perusahaan digital raksasa kelas dunia ini. Bahkan pada pertengahan 2019 perusahaan besutan Nadiem, Gojek, sempat mencairkan investasi serie F dari Google dengan nilai 1 miliar USD atau setara Rp14 triliun (dengan asumsi kurs Rp14.000 saat itu).
“Panggil semua yang bersinggungan dengan kasus tersebut, termasuk Menteri Pendidikan pada periode itu (Nadiem Makarim). Dan telusuri serta ungkap semua yang terlibat dalam korupsi itu sampai ke akar-akarnya. Sikap ini adalah bentuk dukungan kepada Presiden Prabowo yang ingin memberantas korupsi tanpa tebang pilih,” ucap anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Abdullah, kepada Inilah.com, baru-baru ini.
Redaksi sudah mencoba mengkonfirmasi segala informasi dan data terkait dugaan kolaborasi Nadiem dengan raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) ini. Sayangnya, Communications Manager at Google, Feliciana Wienathan tak menjawab satupun dari daftar pertanyaan. Alih-alih memberi klarifikasi, dia hanya mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha. Lengkap dengan emoticon senyum.
Penting bagi pemerintah untuk segera menetapkan regulasi yang melindungi data pribadi pelajar. Sudah saatnya kita menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan digitalisasi pendidikan. Kita harus memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kepentingan bersama, bukan untuk mengeksploitasi data pribadi demi keuntungan pihak tertentu. [Rez/Harris/Diana]