Google Veo 3 dan Ancaman Video AI: Saat Melihat tak Lagi Bisa Dipercaya


Dunia tengah menghadapi gelombang baru disinformasi dengan kemunculan Google Veo 3, generator video berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu menciptakan video hiper-realistis lengkap dengan dialog, efek suara, hingga sinkronisasi bibir yang akurat. Teknologi ini menuai decak kagum sekaligus kegelisahan, bahkan dianggap sebagai “studio Hollywood dalam genggaman siapa pun.”

Dalam sepekan terakhir, media sosial dipenuhi cuplikan video buatan Veo 3 yang begitu meyakinkan hingga sulit dibedakan dari video nyata. Beberapa menampilkan komedian stand-up, dosen yang mengajarkan slang Gen-Z, hingga tayangan dokumenter palsu—semuanya dihasilkan hanya dari perintah teks.

“Sekarang, siapa pun dengan akun Google dan Rp4 juta per bulan bisa menghasilkan video sekelas film layar lebar. Ini lebih dari revolusi teknologi—ini mimpi buruk bagi verifikasi kebenaran,” tulis Tom May, editor senior Creative Bloq.

Veo 3 dirilis pada ajang Google I/O 2025 dan hanya tersedia bagi pelanggan Google AI Ultra. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya mengikuti fisika dunia nyata, membangun cerita yang runtut, dan menampilkan karakter yang tampak hidup tanpa cacat visual.

Namun, kekhawatiran utama muncul dari sisi dampak sosial dan etika. Dengan teknologi semacam ini, siapa pun bisa menciptakan video palsu yang menyulut konflik, menyebarkan hoaks, atau menghancurkan reputasi hanya dengan imajinasi dan satu paragraf perintah. Kecepatan distribusi konten palsu diprediksi akan jauh melampaui kemampuan sistem pemeriksa fakta.

Seeing is believing tak lagi berlaku. Di era Veo, mata bisa dengan mudah ditipu,” tulis May. Ia menyoroti bahwa masyarakat, hukum, dan sistem pendidikan belum siap menghadapi gelombang media sintetis ini. Bahkan industri kreatif dan para profesional video kini mulai mempertanyakan relevansi keterampilan mereka dalam menghadapi otomatisasi kreatif.

Google belum menjelaskan secara rinci bagaimana Veo dilatih dan konten apa yang digunakan. Beberapa pengguna menemukan kesamaan mencolok antara properti dalam video AI dengan aset nyata dari YouTuber terkenal, menimbulkan spekulasi bahwa data pelatihan diambil tanpa izin eksplisit.

Saat ini, kebutuhan mendesak bukanlah untuk melarang teknologi, melainkan membangun standard digital watermark, alat deteksi, serta literasi media yang lebih kuat. Jika tidak, publik akan terus dibanjiri realitas palsu yang terlihat lebih nyata dari kebenaran itu sendiri.

Dengan kata lain: video AI mungkin tak punya jiwa, tapi mereka sudah mulai mengguncang fondasi kenyataan manusia.

Exit mobile version