Market

Gegara Perang Rusia-Ukraina, Harga Mi Instan Bakal Mahal Ikuti Minyak Goreng dan Daging

Ekonom Senior, DR Rizal Ramli bilang. perang Rusia-Ukraina berdampak kepada harga mi instan. Kemungkinan harga naik, karena Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama gandum, bahan baku mi instan, ke Indonesia.

Masih kata mantan Menko Ekuin era Presiden Gus Dur ini, ketergantungan Indonesia terhadap gandum dari kedua negara yang tengah bertikai itu, cukup besar. Saat ini, Rusia adalah pemasok 30% gandum ke Indonesia. Sedangkan 25% berasal dari Ukraina. “Hingga akhirnya teman-teman mahasiswa dan masyarakat umum yang suka makan mi instan, harus siap-siap. Bisa naik harganya. Tantangan kita semakin susah. Selain barang langka, harganya naik tak terkira. Jadi, bukan hanya minyak goreng, kedelai dan daging sapi saja. Sebentar lagi gandum,” kata Mantan Menko Kemaritiman di periode pertama Presiden Jokowi ini.

Baca Juga:  CBDK Gelar RUPST Perdana, Tetapkan Dividen Tunai Rp5 per Saham Lebih Awal

Pandangan senada disampaikan ekonom milenial dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Padmanegara. Dia bilang, pemerintah harus mulai mengantisipasi kenaikan harga gandum yang menjadi bahan baku makanan olahan, seperti itu tadi, mi instan. Dampak dari konflik Rusia dan Ukraina. “Efek dari kelangkaan gandum atau terganggunya rantai pasok gandum dari Rusia dan Ukraina bisa membuat produsen meneruskan kenaikan harga gandum kepada konsumen. Artinya mie instan dan roti, itu harganya akan lebih mahal,” kata Bhima, dikutip dari Antara di Jakarta, Selasa (1/3/2022).

Kementerian Perdagangan (Kemendag), kata dia, perlu mencari alternatif pemasok gandum dari negara lain. Bisa saja melirik Australia, Amerika Serikat (AS), atau bahkan China. Jalin penandatanganan kontrak jangka panjang untuk memastikan pasokan dan harga gandum tetap stabil. “Peran pemerintah dan Bulog penting untuk membantu dan memfasilitasi importir guna mencari negara-negara yang siap untuk memasok gandum. Kemendag juga diharapkan memfasilitasi importir gandum untuk mengamankan harga,” imbuhnya.

Baca Juga:  Komisi VII Wanti-wanti 4 Perusahaan Tambang di Raja Ampat yang Izinnya Dicabut Bisa Beroperasi Lagi

Ia meminta pemerintah untuk melakukan komunikasi dengan pelaku usaha makanan dan minuman olahan, agar tidak serta merta menaikkan harga yang justru membebani konsumen. “Jadi, minta pengertian pengusaha bahwa situasi sekarang tidak semua konsumen siap menerima kenaikan harga. Karena bisa mempengaruhi daya beli. Beberapa pengusaha sudah memahami itu sehingga mereka memilih memotong margin keuntungan dibanding meningkatkan harga jual,” jelas Bhima.

Produsen bahan pangan alternatif pengganti gandum seperti tepung beras dan jagung juga bisa memanfaatkan keterbatasan bahan impor dari Ukraina dan Rusia ini. “Sehingga ketergantungan terhadap gandum impor juga bisa berkurang secara bertahap dengan produktivitas pangan lokal yang lebih meningkat dan dominan,” katanya. ​​​​​

Baca Juga:  Sampai April 2025 Pemerintah Sudah Gelontorkan Belanja Bansos Rp43,6 Triliun

Selain gandum, diperkirakan konflik antara Rusia dan Ukraina dapat mengganggu rantai pasok komoditas lain seperti minyak bumi dan barang tambang hingga harganya meningkat dan menyebabkan inflasi.

Back to top button