Gaduh Angka Kemiskinan BPS, Ekonom: Pemerintah Jangan Resisten dengan Standar Bank Dunia

Munculnya laporan World Bank atau Bank Dunia yang menyebut jumlah warga miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen, membuka mata banyak orang. Selama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka kemiskinan rendah sekali. Jauh di bawah laporan Bank Dunia.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyarankan pemerintah untuk tidak resisten dengan standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia.
Menurut Wija, sapaan akrabnya, pembuktian garis kemiskinan bakal terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Apakah yang sesuai adalah versi Bank Dunia atau BPS.
“Indonesia tidak perlu resisten dengan standar World Bank, tetapi juga jangan kemudian meninggalkan standar BPS. Ada baiknya jika dalam beberapa tahun ke depan, kita menggunakan dua garis kemiskinan, yaitu US$ (Purchasing Power Parity/PPP) 3,65 dan US$ (PPP) 6,85/orang/hari. Garis kemiskinan yang tepat bagi Indonesia adalah diantara kedua angka itu,” tutur Wija kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Selasa (6/5/2025).
Ia menyebut, standar garis kemiskinan Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah atas atau Upper Middle Income Country (UMIC), ditetapkan US$6,85/orang/hari (PPP). Atau setara dengan Rp35 ribu/orang/hari. Di mana, 1 US$ PPP setara Rp5.993,05.
Mengingat GDP/kapita Indonesia sudah mencapai US$4.900, maka masuk kategori negara berpendapatan menengah atas, yaitu negara dengan GDP/kapita US$4.500 hingga US$14.000.
Pada 2021, ucap Wija, dengan GDP/kapita mencapai US$4.350, Indonesia masih masuk kategori negara menengah-bawah atau Lower Middle Income Country (LMIC).
“Di mana garis kemiskinan World Bank hanya di level US$3,65 (PPP), atau setara Rp19 ribu/orang/hari. Sedangkan standar BPS saat itu (Rp 20 ribu/orang/hari) sesuai dengan World Bank. Itu saat Indonesia masih LMIC,” ungkapnya.
Hanya saja, lanjut Wija, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak naik pangkat ke UMIC, sehingga jumlah kemiskinan meningkat. Kemudian melejit lagi ke level 60,3 persen,” sambungnya.
Dia menilai, kenaikan drastis ini dikarenakan ada banyak rakyat Indonesia yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Selama ini, mereka terbantu adanya program bantuan sosial (bansos) yang masif digelontorkan pemerintah. Ketika standar kemiskinan naik, otomatis, ratusan juta rakyat Indonesia masuk kategori miskin.
Sebelumnya, Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, perbedaan angka kemiskinan antara versi BPS dengan World Bank atau Bank Dunia, tidak perlu dibuat gaduh Karena, metodologi dan tujuan penghitungan antara BPS dengan Bank Dunia, memang beda.
“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda,” kata Amalia, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Asal tahu saja, Bank Dunia menghitung angka kemiskinan Indonesia pada 2024 mencapai 60,3 persen, atau setara 171,8 juta jiwa. Di mana, Bank Dunia memiliki 3 standar kemiskinan yang berdasarkan pendekatan purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli.
Ketiga standar kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, sebesar US$2,15 PPP untuk standar kemiskinan ekstrem, US$3,65 PPP untuk standar kemiskinan di negara berpendapatan menengah bawah, serta US$6,85 PPP untuk kemiskinan negara berpendapatan menengah atas.
Pada 2023, Bank Dunia mencatat Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia mencapai US$4.870, sehingga layak dimasukkan dalam kelompok negara berpenghasilan menengah ke atas (Upper Middle Income Country/UMIC).
Walhasil, Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan US$6,85 PPP untuk menghitung jumlah warga duafa di Indonesia. Nilai standar itu dikonversikan menjadi rupiah dengan dikalikan Rp5.993,03 (1 US$ PPP setara Rp5.993,03), sehingga ketemu Rp41.052,3/orang/hari).
Selanjutnya, Bank Dunia menyebut 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan global. Sementara BPS menyebut angka kemiskinan di Indonesia, hanya 8,57 persen per September 2024. Atau sekitar 24,06 juta jiwa. Selisihnya jumbo sekali, mencapai 147,74 juta jiwa.