Polemik status non-halal Ayam Goreng Widuran Solo makin panas. Setelah pengakuan penggunaan minyak babi (lard) dalam kremesan ayam goreng, kini beredar foto lama banner Ayam Goreng Widuran yang memuat klaim “HALAL” secara mencolok.
Foto tersebut, diunggah ke Google Photos dan media sosial, diperkirakan diambil pada periode 2018–2019 saat warung tersebut masih aktif beroperasi di kawasan Ruko Sudirman Square, Solo.
Dalam spanduk berwarna merah menyala itu tertulis “Asli Ayam Kampung – HALAL – Pasti Enak, Mak Nyusss…” di sisi kiri atas, memperkuat asumsi konsumen Muslim bahwa produk yang dijual bebas dari unsur haram.
Diduga Langgar UU dan Menyesatkan Konsumen
Temuan visual ini memperparah situasi. Dalam pernyataannya, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menegaskan bahwa penggunaan label halal padahal produk mengandung bahan haram merupakan bentuk pembohongan publik dan pelanggaran serius terhadap UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
“Ketika ada orang Islam yang datang ke restoran mereka, apalagi perempuan-perempuan tersebut memakai jilbab, maka semestinya pihak restoran memberi tahu… tetapi ternyata hal itu tidak terjadi,” tegas Anwar.
Ia menyebut peristiwa ini sebagai pelanggaran terhadap hak konsumen yang dilindungi undang-undang dan meminta aparat penegak hukum memproses kasus ini secara pidana.
Wali Kota Solo Turun Tangan, Warung Ditutup Sementara
Wali Kota Solo Respati Ahmad Ardianto langsung menutup sementara operasional Ayam Goreng Widuran untuk memberi waktu asesmen ulang dari BPOM, Dinas Perdagangan, dan Kementerian Agama. Ia menegaskan bahwa pengelola harus mengajukan sertifikasi halal atau secara terbuka menyatakan non-halal, sesuai aturan.
“Saya imbau untuk ditutup terlebih dahulu… dilakukan asesmen ulang oleh OPD-OPD terkait,” kata Respati usai inspeksi pada Senin (27/5/2025).
Potensi Pelanggaran Ganda
Dengan adanya dokumentasi visual penggunaan label halal di masa lalu dan pengakuan baru soal penggunaan minyak babi, Ayam Goreng Widuran kini berhadapan dengan potensi pelanggaran ganda: yakni penggunaan simbol halal tanpa sertifikasi resmi, serta tidak mencantumkan status non-halal secara jelas selama puluhan tahun.
Pemerhati hukum konsumen menyebut hal ini dapat masuk ke ranah pidana atas dasar penyesatan informasi, khususnya terhadap konsumen Muslim. Terlebih, label halal kerap menjadi pertimbangan utama dalam keputusan membeli produk makanan di Indonesia.