News

Fenomena Anggota DPRD Baru Gadaikan SK Jadi Sorotan Media Asing


Sejumlah anggota DPR yang baru dilantik menggadaikan surat pengangkatan (SK) mereka untuk mendapatkan pinjaman bank, guna meringankan sebagian biaya tinggi kampanye politik dalam pemilihan daerah. Fenomena lama yang selalu terjadi dan kini menjadi sorotan media asing.

Channel News Asia (CNA) menurunkan laporan tentang fenomena yang terus berulang ketika anggota legislatif di daerah baru dilantik. Situasi ini mengkhawatirkan karena bisa berujung pada korupsi politik dan memburuknya demokrasi.

“Risikonya adalah kemungkinan penyalahgunaan wewenang dengan tujuan menutupi kebutuhan pembayaran cicilan dan biaya politik lainnya,” kata Titi Anggraini, pakar pemilu dari Universitas Indonesia (UI), mengutip media berbasis di Singapura itu.

Di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, sejumlah anggota DPRD telah mengajukan pinjaman kepada Bank Jawa Barat Banten (BJB) antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar dengan tenor lima tahun atau selama menjabat. Artinya gaji bulanan anggota DPRD Subang akan dipotong 50 persen untuk melunasi cicilan utang. Anggota dewan bisa mencapai pendapatan Rp50 juta per bulan.

Sementara Ketua DPRD Pasuruan, Abdul Karim, mengatakan ada empat orang yang menggadaikan SK miliknya sebagai agunan pinjaman bank, dan jumlahnya kemungkinan akan bertambah. Pinjaman sebesar Rp500 juta atau lebih diperoleh dari Bank Jatim.

Sedangkan 10 anggota DPRD Kota Serang, Provinsi Banten, telah menggadaikan SK-nya usai resmi dilantik Selasa lalu. Sekretaris DPRD Serang Ahmad Nuri mengatakan sejumlah bank telah menawarkan pinjaman hingga Rp1 miliar.

Baca Juga:  Tak Terima Dipecat usai Terseret Pembunuhan Bayi, Oknum Anggota Intel Ajukan Banding ke Polda Jateng

Di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 22 dari 50 anggota DPRD yang baru dilantik pekan lalu menggadaikan SK-nya untuk mendapatkan pinjaman. Jumlah pinjaman berkisar antara Rp200 juta hingga Rp500 juta.

Fenomena Umum dan Berulang

Para pengamat menilai, fenomena gadai SK merupakan hal lumrah yang kerap dilakukan para anggota DPRD terpilih di berbagai daerah. “Dulu kan masih malu-malu, ngomong ke orang sedikit, sekarang kan sudah banyak yang publikasikan lewat televisi atau media sosial, jadi jadi sorotan publik,” kata Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, kepada CNA.

“Syukurlah kalau menang. Kalau kalah bagaimana? Itu repotnya. Tidak heran banyak calon legislatif yang kalah stres karena tidak bisa membayar utang,” imbuh Ujang.

Tingginya biaya kampanye itu dibenarkan oleh Bapak Abdul Karim, anggota DPRD Pasuruan. Tak heran bahwa pinjaman itu wajar karena kemarin (saat kampanye) mereka sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak. Biaya kampanye calon DPRD disebut-sebut mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Muhammad Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam sebuah podcast mengatakan, rata-rata anggota DPR merogoh kocek Rp15 miliar untuk berkampanye di satu daerah pemilihan. Di tingkat DPRD provinsi, kata Romy, para calon legislatif (caleg) mengeluarkan dana hingga Rp3 miliar, sedangkan di tingkat DPRD kabupaten/kota mencapai Rp1 miliar.

Baca Juga:  Komisi IX DPR: Program Makan Bergizi Jangan Jadi Ancaman bagi Anak Sekolah

Pengamat politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Ambang Priyonggo mengatakan, biaya politik menjadi mahal karena calon legislatif masih menggunakan metode kampanye tradisional. “Mereka berhubungan langsung dengan warga sehingga mereka menghabiskan banyak biaya operasional, misalnya menyediakan pamflet atau kaos, yang biayanya akan bertambah jika dikalikan,” tutur Ambang kepada CNA.

Lebih parahnya lagi, terdapat pula praktik politik uang atau jual beli suara pada saat kampanye yang membuat biaya politik semakin membengkak. “Mereka juga harus memberikan sesuatu, baik berupa barang maupun uang. Jadi yang mereka jual bukanlah ide. Model politik seperti ini sangat mahal bagi para kandidat,” imbuh Ambang.

Sebelum dinyatakan sebagai wakil partai yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum, calon legislatif juga mungkin harus membayar mahar politik yang sangat besar agar dapat dicalonkan oleh partai.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amir Arief mengatakan, semakin besar mahar politik, semakin besar pula peluang calon tersebut dicalonkan partai. “Para kontestan mengeluarkan biaya antara Rp5 miliar hingga Rp15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik,” kata Amir dalam sebuah artikel di situs Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai larangan untuk mencegah praktik mahar politik dengan sanksi yang tegas. Namun, pembuktian praktik mahar politik sulit dilakukan karena dilakukan secara terbatas dan tertutup, tulis KPK. Selain untuk membiayai biaya politik, Titi Anggraini mengatakan anggota dewan juga dapat mengambil pinjaman untuk membiayai gaya hidup mereka.

Baca Juga:  Bapak Pencak Silat Dunia Eddie Nalapraya Wafat, Prabowo: Contoh Patriot dan Pemimpin Pejuang

“Gaya hidup turut memengaruhi fenomena ini. Karena pejabat politik atau anggota DPRD biasanya dibekali dengan fasilitas mewah, anggota DPRD juga perlu melakukan penyesuaian,” kata Ibu Titi. “Lagipula, masyarakat mengidentifikasi anggota DPR sebagai pejabat yang punya banyak uang,” imbuhnya.

Bukan Pelanggaran Hukum

Pimpinan DPRD Serang Muji Rohman mengatakan, tidak ada pelanggaran dalam menggadaikan SK untuk mendapatkan pinjaman perbankan dan itu merupakan hak setiap orang untuk melakukannya. “Itu merupakan keharusan dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan,” kata Muji kepada CNN Indonesia.

Meski begitu, Titi mengatakan, jika dibiarkan, perilaku tersebut dapat memicu praktik politik korup dan jika SK tersebut digadaikan, dapat mendorong politisi untuk terus mencari uang tambahan. Karena itu, ia mendesak negara untuk mempertimbangkan secara serius solusi guna mengurangi biaya politik yang terlalu tinggi dalam pemilu Indonesia.

Jika pemenang pemilu mendatang masih ditentukan oleh besarnya uang yang dikeluarkan saat kampanye – atau mahar politik – maka pengamat mengatakan kualitas demokrasi di Indonesia akan terus menurun. “Jika terus seperti ini, peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia tidak akan terwujud,” kata Bapak Ambang.

“Mereka (anggota dewan) tidak dipilih berdasarkan rekam jejak, prestasi, atau gagasan, tetapi dari apa yang mereka berikan kepada pemilih,” imbuhnya.

Back to top button