Esport: Sukses Tanpa Sekolah, tapi Apakah Pilihan yang Tepat?

Siapa sih yang tidak pernah bermain game? Hampir semua orang pernah mencobanya, setidaknya sekali. Awalnya, game hanya dianggap sebagai hiburan untuk melepas penat.
Namun, seiring waktu, dunia game berkembang pesat hingga melahirkan cabang olahraga digital bernama Esport. Esport atau electronic sport adalah kompetisi profesional dalam bermain game, mencakup berbagai genre seperti olahraga, balapan, pertarungan, battle royale, hingga MOBA.
Industri ini menjadi ladang penghasilan yang menjanjikan. Banyak anak muda bermimpi menjadi atlet Esport profesional. Namun di balik gemerlapnya, muncul kekhawatiran terutama dari para orang tua soal dampaknya terhadap pendidikan anak-anak.
Gemerlap Esport dan Balik layar
Tidak bisa dipungkiri bahwa Esport mampu menghasilkan pendapatan fantastis. Misalnya, dalam game DOTA 2, total hadiah turnamen bisa mencapai US$40 juta. Pemain profesional juga mendapatkan sponsor, gaji tetap, dan publikasi besar.
Namun, jalan menuju puncak tidak semudah kelihatannya. Butuh latihan bertahun-tahun, kedisiplinan tinggi, dan pengorbanan besar. Sayangnya, banyak anak muda yang bermain game berjam-jam tanpa tujuan jelas, berharap sukses, tapi tidak memahami risiko dan persaingan di dalamnya.
Selain itu, jadwal latihan profesional sangat padat dan berpotensi mengganggu pendidikan. Seperti pengakuan Donkey dari tim EVOS.
“Kami berlatih mulai jam 2 (siang), mulai dengan melakukan review hingga jam 3 atau 4, setelah itu scrim hingga jam 6 atau 7 sebelum istirahat makan sampai jam 8 malam. Setelah itu kami melakukan review lagi hingga jam 9 dan scrim lagi hingga jam 11. Setelah itu kami bermain rank hingga jam 2 sampai 3 (malam),” papar Donkey.
Hal serupa juga diungkapkan Bayu Putra, kapten tim Head Hunters, yang menjuarai kualifikasi Legion of Champions Series III (LoC) untuk game League of Legend (LOL).
“Sehari-hari latihan rata-rata 12 jam sehari. Habis main tiga game berturut-turut, biasanya istirahat 10 menit. Satu game itu rata-rata 30 menit,” papar Bayu.
Gaya hidup seperti ini juga memicu masalah kesehatan karena kurang tidur, kurang gerak, dan stres tinggi. Terlebih lagi, usia produktif atlet Esport relatif pendek. Setelah itu, tidak semua berhasil beralih profesi, apalagi jika mereka mengabaikan pendidikan sejak awal.

Sukses di Game, Masa Depan Aman, Kuncinya Keseimbangan
Meski Esport bisa menjadi karir yang menjanjikan, penting bagi anak-anak untuk tetap menjaga keseimbangan dengan pendidikan. Dukungan dan bimbingan dari orang tua sangat diperlukan agar mereka tidak hanya fokus pada game, tetapi juga memiliki bekal akademis.
Dunia Esport sangat kompetitif dan tidak semua bisa berada di puncak. Karena itu, pendidikan tetap menjadi fondasi utama untuk masa depan, baik bagi yang sukses di Esport maupun yang tidak.
Dengan keseimbangan, anak-anak tetap memiliki banyak pilihan hidup di masa depan, menjadikan game bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai jembatan menuju karir yang positif tanpa mengorbankan pendidikan yang tetap menjadi pondasi kehidupan.