Air laut jadi panas, ikan tidak mau lagi di wilayah tangkap nelayan di Kurisa. Di Kampung Baho Makmur, di Morowali, sepuluh tahun penduduk tidak bisa menanam padi karena limbah tambang masuk ke sungai
Kepala Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Imam Shofwan menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo salah kaprah jika menyebut ekpansi nikel berguna untuk mengurangi emisi karbon pada kendaraan. Sebaliknya menurut Imam, kebijakan ini justru menciptakan korban yang lebih tinggi.
“Tambang nikel ini rendah karbon kata pemerintah, tapi kata Jatam tinggi korban,” ujar Iwan saat berbincang dengan Inilah.com, di Jakarta, Selasa (14/6/2023).
Ia mencontohkan tentang ekspansi tambang secara masif di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. PT Harita Group sebagai perusahaan yang memegang konsesi, dinilai Imam telah menciptakan korban dengan hancurnya sumber daya seisi pulau tersebut.
“Di lapangan, sekian banyak mata air warga hancur, tempat berladang mereka, kebun-kebun cengkeh, kebun jambu mete, juga hancur. Hutan-hutan sagu, makanan mereka, juga dihancurkan untuk dikeruk tanahnya,” kata Iwan.

Iwan menyebut pemilik otoritas setempat bahkan tidak memberikan perbaikan atas kehancuran Pulau Obi yang telah mereka keruk sumber dayanya. Sebaliknya, dikatakan Iwan, warga setempat dijanjikan akan direlokasi ke komplek Eco Village yang jaraknya sejauh lima kilometer dari wilayah mereka.
Menurut Iwan, tindakan ini membuktikan bahwa penambangan nikel yang dilakukan oleh perusahaan tidak bertanggung jawab atas segala kehancuran yang mereka ciptakan. Alasan kondisi yang tidak lagi sehat karena polusi industri untuk merelokasi warga, menjadi tidak masuk akal bagi Iwan.

“Karena sudah hancur begitu yang dilakukan bukan memperbaiki lingkungannya, tapi malah rencana akan memindah warga dengan kehancuran yang telah mereka bikin itu. Namanya (Eco Village) sih sok hijau, tapi itu hancur lingkungannya,” ungkap Iwan.
Lebih jauh Iwan mengatakan, penambangan nikel yang tengah digencarkan pemerintah sebagai pembuatan baterai bagi mobil listrik bukanlah solusi untuk mengurangi polusi di Indonesia. Sebab berdasarkan catatan Jatam, dikatakan Iwan, tambang-tambang nikel ini justru menggunakan batubara dalam mencukupi kebutuhan energy dari pengolahan tambang mereka.
“Selain merusak hutan, merusak laut, merusak sungai, mereka juga menggunakan batubara dalam jumlah yang tidak sedikit untuk operasi tambang dan menerangi listrik di sekitar smelter,” kata Iwan.

Selain di Pulau Obi, Jatam juga menemukan kejadian serupa terjadi di wilayah Kurisa dan Kampung Baho Makmur, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Di kampung yang berdekatan dengan kawasan industry berbasis nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
“Di Indonesia Morowali Industrial Park itu ada kampung Kurisa yang sudah hancur lautnya akibat limbah PLTU,” kata Iwan.
Akibatnya menurut Iwan, mata pencaharian warga di sana juga ikut menghilang seiring dengan kerusakan alam yang telah diciptakan oleh penguasa tambang setempat.

“Air laut jadi panas, ikan tidak mau lagi di wilayah tangkap nelayan di Kurisa. Di Kampung Baho Makmur, di Morowali, sepuluh tahun penduduk tidak bisa menanam padi, karena limbah tambang masuk ke sungai. Kalau aliran sungai masuk ke sawah itu padi langsung mati,” kata Iwan.
Temuan lain juga didapatkan oleh Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI). Salah satu yang menjadi konsentrasi organisasi lingkungan itu, yakni kegiatan yang dilakukan PT Vale Indonesia Tbk di blok tambang Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Perusahaan tambang yang sebagian besar sahamnya dipegang oleh perusahaan Brazil dan Jepang ini, diketahui diberi konsesi oleh negara untuk melakukan eksplorasi di lahan seluas 118.000 hektar.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan Walhi Sulawesi Selatan (Sulsel) pada tahun 2018, kegiatan tambang nikel yang dilakukan PT. Vale Indonesia Tbk telah membuat laju sedimentasi meningkat hingga membentuk daratan baru yang penuh lumpur di pinggiran Danau Mahalona.

Salah satu yang menjadi bukti Walhi, yakni luas Danau Mahalona saat ini tersisa sekitar 2.289 hektar, atau mengalami penyusutan 151 hektar jika dibandingkan dengan luasnya pada 1979 yakni 2440 hektar.
“Di Danau Mahalona di Sulawesi Selatan karena pembukaan kawasan pertambangan nikel ada laporan bahwa terjadi pendakalan. Selain itu terdapat laporan terjadi kerusakan mulai dari sungai Malonga sampai Malini hingga ke pesisir Lampia di Sulawesi Selatan,” ujar Direktur Eksekutif Daerah Walhi, Rere Jambore Christanto, ketika berbincang dengan Inilah.com, Jumat (16/6/2023).
Menurut Rere, kerusakan di sekitar danau Mahalona itu merupakan contoh efek berantai yang diakibatkan dari aktivitas tambang nikel. Bukan cuma lingkungan, efek nyata kini juga dirasakan penduduk sekitar.
“Belum lagi kalau menghitung dari limbah aktivitas pertambangan yang masuk ke dalam badan sungai atau sumber-sumber air, maka kemudian mengancam keselamatan warga yang ada di sana,” kata Rere.

Efek ke penduduk sekitar semakin terasa ketika terjadi perluasan area eksplorasi ke Blok Tanamalia area Pegunungan Lumereo. Upaya tersebut mengancam 3.654 hektare lahan perkebunan merica milik petani yang berada pada enam desa di Kecamatan Towuti, Luwu Timur. Enam desa ini yakni Desa Loeha, Ranteangin, Masiku, Bantilang, Tikalimbo dan Mahalona Raya. Walhi bersama dengan Asosiasi Petani Merica Loeha Mahalona menentang keras upaya tersebut.
Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas , mengatakan dari data terakhir yang ia kantongi pada tahun 2022, terdapat 234 titik lokasi dengan luas lahan total 559 ribu hektar telah mengantongi izin untuk dilakukan eksplorasi.
“Ada di Sulawesi, Maluku, Papua. Yang sudah membuka banyak tambang nikel itu didaerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Sementara di Halmahera dan Pulau Obi itu titik yang sudah terdampak kerusakan lingkungan,” ujar Arie Rompas kepada Inilah.com, Jumat (16/6/2023).

Dikatakan Arie, lahan yang telah menjadi titik lokasi eksplorasi itu dikhawatirkan akan menambah dafar panjang kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kebijakan pemerintah dalam proyek strategis nasional itu.
Sebab menurut Arie, eksplorasi nikel dilakukan dengan menggnakan metode open-pit mining atau penambang terbuka, yang sudah tentu bakal membabat ratusan hektar hutan di lokasi penambangan. Selain dampak lingkungan, juga akan berimbas kepada penduduk sekitar lokasi tambang.
“Biasanya tambang terbuka akan berdampak pada polusi udara di wilayah-wilayah atau penduduk-penduduk sekitar. Kalau (Lokasi pertambangan) itu berada di wilayah-wilayah hulu. Artinya, sumber-sumber wilayah mata air juga akan rusak,” kata Arie.
Sementara itu, Corporate Communications Manager PT Harita Group, Anie Rahmi membantah seluruh tudingan tersebut. Melalui siaran persnya, Anie mengatakan bahwa seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi berada dalam Kawasan Hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK). Anie memastikan bahwa Harita memegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) atas setiap bukaan lahan.
“Tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga, tetapi melalui proses yang transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat,” kata Anie, dalam siaran persnya, dikutip dari website resmi PT Harita Group, Jumat (16/6/2023).
Selain itu, Anie juga membantah jika ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi. Anie mengklaim, selama ini PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP), anak usaha Harita Nickel , menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack). Dry Stack dianggap sebagai metode yang aman dan ramah lingkungan serta memenuhi standar nasional dan internasional.
“Sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Sungai Akelamo, namun di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai dengan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Anie.
Bantahan senada juga disampaikan PT Vale Indonesia Tbk. Head of Communications PT Vale Indonesia Tbk, Bayu Aji mengaku pihaknya selalu mengedepankan dialog dengan masyarakat dan Undang-undang yang berlaku mengenai konsesi di Blok Tanamalia.
Bayu mengatakan, perluasan tambang ke Blok Tanamalia merupakan wilayah Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Wilayah PPKH merupakan kawasan hutan yang digunakan masyarakat untuk penanaman lada,” ujar Bayu dalam siaran persnya, Rabu (17/5/2023).
Selain itu, menurut Bayu, PT Vale Indonesia akan melakukan komunikasi kepada penggarap lahan untuk mendapatkan akses di kebun mereka pada titik kegiatan eksplorasi.
“Perseroan tidak melakukan kegiatan eksplorasi bila tidak mendapatkan akses dari penggarap lahan,” kata dia. (Nebby/Vonita/Rizky)