Market

Ekonom: Usut Dugaan Praktik ‘Kick Back’ Penyaluran Kredit di Bank Mayapada

Praktik penyaluran kredit dengan embel-embel kick back (suap) dari debitur kepada pegawai, atau pemilik bank, adalah hal yang lumrah tapi salah. Ini seharusnya bisa dicegah OJK, kalau tak ingin terulang krisis perbankan pada 1998.

Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Ahmad Nur Hidayat mengatakan, praktik kick back dalam penyaluran kredit yang diduga terjadi di Bank Mayapada, harusd dibongkar. “Ini pelanggaran yang seharusnya bisa dicegah OJK,” ungkapnya.

“Bila pelakunya petugas/karyawan bank, maka dia harus dipidana. Bila pemilik bank, maka bank-nya harus diawasi ketat. Karena, di masa lalu, penyebab krisis perbankan 1998 karena pemilik bank yang memperkaya diri dari kredit yang diberikan,” imbuhnya.

Baca Juga:  2 Bulan Lagi Tuntas, Gubernur Luthfi: Pembentukan Koperasi Merah Putih Sudah 50 Persen

Ya, masuk akal. Praktik kick back dalam penyaluran kredit ini, menunjukkan pihak bank tidak menjalankan prinsip ke-hati-hatian. Sebaliknya, praktik ini jelas-jelas morald hazard, menuju kehancuran. “dampaknya, bakal banyak kredit macet, karena pemberian kredit yang serampangan. Sehingga membebani stabilitas perbankan,” tuturnya.

Terkuaknya kasus di Bank Mayapada, berawal dari fasilitas modal kerja untuk pengusaha pendiri Sioeng Grup, Ted Sioeng senilai Rp1,3 triliun selama 2014-2021.

Dalam perjalanan, kredit Ted macet kemudian dirinya menjadi terlapor polisi. Sekejab saja, Ted bersama anaknya, Jessica ditetapkan sebagai tersangka

Menariknya, Ted mengaku adanya setoran ke Dato Sri Thahir, selaku pemilik Bank Mayapada, senilai Rp525 miliar. Jadi, tiap Ted menerima kucuran kredit maka ada bagian untuk Tahir. Pengakuan ini dituliskan Ted dalam surat yang dikirimkan ke Menkopolhukam Mahfud MD.

Baca Juga:  Bisnis Sawit Masih Menjanjikan, Jhonlin Agro Raya Bukukan Laba Rp59,7 Miliar di 3 Bulan Pertama

Masuk akal. Bagaimana mungkin Bank Mayapada terus-terusan mengguyur kredit selama 7 tahun, padahal Ted berkali-kali kemplang utang. Tentu ada pihak-pihak yang mengawal proses kredit ini bisa berjalan terus.

Praktik seperti ini, jelas melanggar aturan perbankan karena ada unsur bribery (suap-menyuap) dalam pemberian kredit. Pengakuan Ted memberikan suap kepada pemilik bank tersebut dalam pemberian kredit, merupakan tindakan fatal. Seharusnya berujung kepada pemecatan pemilik Bank dan penutupan Bank.

Sejatinya, lemahnya pengawasan OJK bukan terjadi belakangan ini saja. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada 2017-2019, tersingkapnya aliran dana pada belasan nasabah bermasalah, dengan pinjaman sebesar Rp4,3 triliun.

Lemahnya peran OJK juga terjadi saat BPK mengungkap fakta bahwa Bank Mayapada memberikan empat korporasi batas maksimum kredit hingga mencapai Rp23,56 triliun. Tindakan ini diduga telah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan pihak OJK tidak melakukan tindakan apapun terkait pelanggaran ini.

Baca Juga:  Jam Kerja Pendek tapi Penghasilan 6 Kali Lipat dari UMR Jakarta, Tertarik Pindah ke Jerman?

Back to top button