News

DPR Minta Penyadapan KPK Diatur Ketat, Jangan Lagi Umbar Urusan Suami-Istri di Pengadilan


Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo meminta aturan kegiatan penyadap yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur ketat dalam etik. KPK diminta jangan lagi mengumbar urusan pribadi tersangka di Pengadilan.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2019 tentang KPK yang baru, menurut dia, ada hasil sadapan KPK yang tidak berkaitan langsung dengan perkara pokok yang ditangani KPK, tetapi kemudian bocor ke publik.

“Misalnya, penyadapan yang menyangkut hubungan pribadi tersangka, bahkan terkait urusan suami-istri yang kemudian diperdengarkan di pengadilan. Lalu ditekankan juga harus ada batas waktu, hasil penyadapan yang tidak terkait perkara itu dihapuskan,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Baca Juga:  Usai Konsul soal Evakuasi 1.000 Warga Gaza, Prabowo: Kita Dapat Update yang Jernih

Dia menyoroti hal itu ketika uji kelayakan dan kepatutan Calon Dewan Pengawas KPK digelar Komisi III DPR RI. Menurut dia, aturan penyadapan yang dilakukan KPK pasca-Mahkamah Konstitusi (MK), menghapus kewajiban izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk penyadapan di KPK.

Dalam rekomendasi Panitia Khusus Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Angket KPK) tahun 2018, menurut dia, DPR merekomendasikan larangan pelaksanaan penyadapan kepada seseorang yang tidak terkait perkara pokok.

Dia mengatakan penyadapan di KPK diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang menyatakan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penyelidikan tindak pidana korupsi.

Namun, dia menilai tidak ada penjelasan yang rinci mengenai batasan dan kriteria penyadapan yang dapat dikategorikan sebagai informasi yang relevan. Hal ini mengakibatkan penyadapan dilakukan secara luas, tanpa filter yang jelas, dan menghasilkan data yang tidak selalu relevan dengan perkara pokok yang sedang diselidiki.

Baca Juga:  Kasus Pelecehan Seksual di RSHS Bandung Wajib Ada Restitusi untuk Korban

Dia menilai adanya hasil sadapan yang tidak berkaitan langsung dengan perkara pokok, berpotensi disalah digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, jika hasil penyadapan menunjukkan kelemahan seseorang secara pribadi, individu tersebut berpotensi menjadi korban penyalahgunaan, baik dari dalam maupun luar institusi hukum.

“Situasi semacam ini bisa saja terjadi. Di sinilah dibutuhkan peran penting pengawasan dari Dewas KPK,” kata mantan Ketua MPR RI tersebut.

Timbulnya kasus penyadapan KPK yang tidak sesuai perkara pokok, menurut dia, menjadi indikator adanya kebutuhan mendesak untuk memperketat aturan dan mekanisme pengawasan terhadap teknik penyadapan.

Dia mengatakan pembatasan tegas mengenai konten dan konteks yang dapat disadap sangat penting agar data yang diperoleh dari penyadapan tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi atau di luar tujuan penyelidikan.

Baca Juga:  UNRWA: Bencana Kemanusiaan Meningkat Pesat di Gaza

“Negara harus memastikan bahwa hak-hak individu tetap dilindungi dalam proses penegakan hukum. Adanya laporan tentang penyalahgunaan hasil penyadapan untuk tujuan tertentu atau intimidasi dapat menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, termasuk KPK,” tuturnya.

 

Back to top button