DPR Kritisi Program BSU: Pekerja Bergaji Rendah Bukan Anggota BPJS, tak Dapat Bantuan

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi melintarkan kritikan menohok terhadap pegram bantuan subsidi uoah (BSU) 2025 sebesar Rp600/2 bulan, dibayarkan Juni ini.
Kata Nurhadi, kebijakan ini menyasar pekerja yang penghasilan atau gajinya kurang dari Rp3,5 juta per bulan. “Program ini masih menyisakan persoalan lantaran mekanisme penyalurannya hanya ditujukan bagi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan hingga April 2025,” ungkapnya.
“Fakta di lapangan, masih banyak pekerja dengan penghasilan rendah yang belum terdaftar atau bahkan kesulitan mengakses BPJS Ketenagakerjaan karena berbagai kendala ekonomi, terutama pekerja informal dan sektor mikro,” kata Nurhadi, Jumat (6/6/2025).
Seperti diketahui, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan syarat penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun 2025 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2025. Pertama, Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, pegawai dengan gaji atau upah maksimal Rp3,5 juta per bulan. Keempat, bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, atau anggota Polri. Kelima, tidak sedang menerima bantuan sosial lainnya.
Adapun BSU 2025 bertujuan untuk membantu pekerja atau buruh dalam menjaga daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Total anggaran yang digelontorkan untuk program BSU Bantuan Subsidi Upah tahun ini mencapai Rp10,72 triliun.
BSU 2025 akan diberikan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan, yaitu Juni dan Juli 2025. Namun, bantuan ini akan disalurkan sekaligus sebesar Rp600.000 pada bulan Juni 2025.
Nurhadi menegaskan, pembatasan penerima BSU 2025 berpotensi menyisakan kelompok pekerja paling rentan di luar jangkauan bantuan.
“Padahal, mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan dukungan ekonomi justru terancam gagal menerima bantuan karena belum terdaftar di BPJS,” tegasnya.
Nurhadi menyoroti juga fenomena banyaknya perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS. Oleh karena itu, syarat penerima BSU harus memiliki BPJS Ketenagakerjaan dinilai kurang tepat.
“Belum lagi ancaman PHK, jika tak punya BPJS Ketenagakerjaan, karyawan yang bahkan mengabdi puluhan tahun juga tak menerima upah atau pesangon,” imbuh Nurhadj.
Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek, tercatat jumlah peserta aktif sebanyak 39,7 juta orang per April 2025. Jumlah tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan posisi per Maret 2025 yang sebanyak 40,2 juta orang, dan posisi per Desember 2024 yang sebanyak 45,22 juta orang
Di sisi lain, Nurhadi pun mendorong mekanisme penyaluran BSU sekaligus sebesar Rp 600.000 harus diiringi dengan sistem pengawasan yang ketat agar bantuan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.
“Namun, yang paling penting adalah perlu adanya terobosan agar akses kepesertaan BPJS dan program perlindungan sosial lain dapat diperluas, termasuk bagi pekerja informal yang selama ini sulit dijangkau,” ungkapnyq.
Lebih lanjut, Nurhadi menilai program stimulus ekonomi semacam BSU tentu penting, namun tidak boleh menjadi solusi parsial yang hanya menguntungkan sebagian kecil pekerja. Menurutnya, Pemerintah harus serius mengevaluasi dan memperbaiki sistem agar bantuan sosial benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan, tanpa terkecuali.
“Penguatan perlindungan sosial harus menjadi prioritas nasional, terutama di masa ketidakpastian ekonomi global. Jangan sampai program bantuan justru menjadi sumber ketimpangan baru yang menambah beban rakyat kecil,” tutur Nurhadi.
Nurhadi menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan perlindungan tenaga kerja, khususnya bagi pekerja bukan penerima upah (BPU