DPR Dukung Komdigi Bekukan Worldcoin: Penggunaan Biometrik Tanpa Aturan Sangat Berbahaya


Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mendukung langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang membekukan layanan digital Worldcoin dan WorldID. Menurutnya, penggunaan data biometrik retina oleh pihak swasta, apalagi entitas asing, sangat rawan disalahgunakan dan belum memiliki dasar hukum yang kuat di Indonesia.

“Saya rasa memang sudah tepat, karena pengumpulan data-data tersebut oleh pihak swasta apalagi pihak asing, itu tidak ada aturannya. Dan itu rentan untuk digunakan hal-hal yang negatif ke depannya,” ujar Dave di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

Ia menilai, perlu segera dibentuk regulasi khusus, bahkan undang-undang baru bila diperlukan, untuk mengatur penggunaan data biometrik dalam sistem digital yang sensitif.

“Sebaiknya diciptakan regulasi dan bilamana dipandang perlu, kita buat UU untuk pengaturan hal tersebut,” tegasnya.

Sebelumnya, Komdigi resmi membekukan sementara operasional Worldcoin dan WorldID—dua layanan yang dikembangkan oleh Sam Altman, CEO OpenAI. Langkah ini diambil setelah ditemukan indikasi pelanggaran administratif terkait kewajiban pendaftaran sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Menurut Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, pembekuan tersebut merupakan langkah preventif untuk melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan data.

Dalam penelusuran Komdigi, PT Terang Bulan Abadi, salah satu perusahaan yang menjalankan operasional Worldcoin di Indonesia, tidak terdaftar sebagai PSE dan tidak memiliki Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) sesuai regulasi yang berlaku. Adapun layanan Worldcoin tercatat menggunakan TDPSE atas nama badan hukum lain, yaitu PT Sandina Abadi Nusantara.

“Ketidakpatuhan terhadap kewajiban pendaftaran dan penggunaan identitas badan hukum lain untuk menjalankan layanan digital merupakan pelanggaran serius,” kata Alexander.

Worldcoin sendiri adalah proyek global yang memanfaatkan pemindaian iris mata untuk membuat identitas digital (World ID) dan diklaim mampu membedakan manusia dari AI secara anonim. Meski menawarkan solusi atas verifikasi identitas di era digital, proyek ini menuai banyak kritik karena isu privasi, pengumpulan data biometrik, dan insentif finansial yang digunakan untuk menarik pengguna.

Sebelumnya, layanan ini sempat viral di media sosial Indonesia setelah warga Bekasi mengaku mendapatkan imbalan hingga Rp800.000 usai memindai iris mata mereka. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran atas keamanan data pribadi, yang kemudian direspons oleh pemerintah melalui pembekuan izin operasional.

Exit mobile version