News

Doa Pilu Ojol Sepuh Anak Diplomat untuk Bertemu Sang Putra yang Hilang di Warsawa


Di antara deru knalpot dan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah lelah, satu motor listrik berjalan pelan. Di atas joknya, duduk seorang lelaki renta dengan ransel penuh cerita, dan dada penuh kerinduan. Kerinduan seorang ayah yang kehilangan putra kesayangannya di belahan dunia lain.

Sudah satu dekade, Budiman Hasan, 65 tahun, menekuni profesinya sebagai ojek online (ojol) di Jakarta. Setiap pagi, Budiman bangkit, menyalakan motor sewaan yang setia menemaninya sejak matahari terbit hingga langit meredup untuk bertahan hidup. 

Namun, di balik peluh dan suara knalpot yang mengiringi langkah hidupnya, tersimpan luka yang tak bisa disembuhkan dengan balsam atau obat manjur mana pun yakni kerinduan pada buah hatinya, yang telah terpisah puluhan tahun.

“Namanya Danil Hasan. Sekarang saya nggak tahu dia di mana. Terakhir saya bersamanya saat usianya delapan tahun. Itu di Warsawa, Polandia sebelum kami berpisah,” tutur Budiman, matanya berkaca-kaca, suaranya gemetar, saat berbincang dengan Inilah.com di kawasan Senayan beberapa waktu lalu. Budiman masih menjemput penumpang dan mengantar barang, meskipun di waktu yang sama, ribuan rekan seprofesinya memilih turun ke jalan, berdemo, dan menonaktifkan aplikasi.

Baca Juga:  Berapa Kardinal yang akan Ikut Konklaf Kepausan?

Tak ada yang menyangka, lelaki yang kini menyusuri jalanan Senayan demi order makanan dan penumpang, bukanlah pria tua biasa yang kini menggantungkan hidup dari order aplikasi. Ia adalah saksi hidup perubahan zaman. Lahir di Tanah Abang pada 1960 dari garis keturunan Tionghoa-Palembang dan Jawa-Yogyakarta, Budiman menapaki hidupnya dengan berkeliling dunia, mengikuti jejak sang ayah, Ahmad Muhammad Hasan, seorang eks marinir yang kemudian menjadi diplomat.

Budiman remaja adalah anak Indonesia yang beruntung bisa mencicipi dunia. Ia menghabiskan masa remaja di Kuala Lumpur, lalu melanjutkan sekolah di SMA 9 Bulungan, Jakarta. Singkat cerita, Budiman mengadu nasib ke Eropa dan bekerja sebagai staf lokal Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin dan Frankfurt, Jerman. Di sanalah ia jatuh cinta dengan Hana Siska, perempuan keturunan Jerman-Polandia.

Dari cinta beda benua itu, lahirlah Danil. Namun di tengah kisah manis, kehidupannya di luar negeri tak selamanya gemerlap. Budiman mengaku mendapat tekanan sosial dan stigma keagamaan dari komunitas Muslim di Berlin. Ia, yang menikahi Hana meski beda keyakinan, mulai merasa tak aman. “Saya dianggap berzina,” katanya pelan. Perlahan, ia mundur. Bukan karena tak cinta, tapi karena tak kuasa.

Baca Juga:  Usai Dapat Ucapan Selamat, PM Australia Albanese Langsung Minta Ini ke Prabowo

Tahun 2011 menjadi titik balik kehidupannya. Setelah menjauh dari Hana dan Danil, yang saat itu tinggal di Milanówek, sebuah kota kecil di pinggiran Warsawa, ia mantap pulang ke Indonesia meski melangkah dengan hati berat. “Saya merasa ada lagu Indonesia Pusaka yang menenangkan hati, jadi saya kepingin pulang. Ada perasaan panggilan Pertiwi pula,” tutur Budiman.

Sejak itu, hidup Budiman tak lagi sama. Dari pembantu diplomat, kini menjadi tukang ojek. Dari protokol kenegaraan, kini melayani penumpang dengan senyum yang terkadang ia paksakan untuk menutupi kegalauannya. Dari hidup berkeluarga, kini tinggal sebatang kara. “Penghasilan saya paling Rp150 ribu sampai Rp200 ribu per hari. Tapi motor ini sewa, dipotong lagi Rp50 ribu tiap hari,” katanya.

Baca Juga:  Ratusan Rumah dan Fasilitas Umum Rusak Akibat Gempa Bengkulu

Meski hidup serba pas-pasan, Budiman tetap berusaha tegar. Ia juga memiliki satu anak lagi dari pernikahan dengan istri pertama, yang kini tinggal di Sukabumi. “Diki Hasan Ramadhani masih suka ngirimin rejeki, tapi bulan ini belum,” ujarnya jujur.

Namun hatinya tetap tertambat pada Danil. Ia tak tahu persis kini anaknya tinggal di mana. Apakah masih di Warsawa, di Polandia, atau bahkan telah berpindah ke Jerman. “Saya cuma minta satu, kalau bisa, bantu saya ketemu anak saya lagi. Atau kasih tahu dia, ayahnya masih hidup, masih di Jakarta,” pintanya.

Barangkali, jauh di Warsawa sana, Danil juga duduk di sebuah kafe kecil, menatap langit sore, dan bertanya dalam hati, “Apa kabar ayahku?” Kalau iya, semoga angin membawa kabar ini padanya, bahwa di Jakarta, ada seorang lelaki tua yang masih berharap, dan masih menyebut namanya dalam setiap doa.

Back to top button