News

Dihapusnya Ambang Batas Capres Hadiah Terindah bagi Demokrasi, DPR Jangan Coba-coba Mengakali!


Banyak pihak yang menyambut gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden 20 persen pada gelaran Pemilu 2029. Bukan saja dari kalangan partai politik nonparlemen dan aktivis demokrasi saja, kalangan akademisi juga turut menyambut gembira langkah berani para pengadil konstitusi.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, M. Iqbal menyatakan putusan ini  merupakan kado terindah bagi demokrasi di Indonesia. Sebab butuh lalui puluhan kali penolakan sampai perjuangan para aktivis prodemokrasi terbayarkan.

“Kabar itu menjadi kado istimewa mengawali tahun baru 2025. Kini setiap partai politik peserta pemilu bisa bebas mencalonkan kader terbaiknya atau siapa pun yang dinilai pantas berkontestasi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2029 tanpa terpaksa atau dipaksa bergantung pada partai yang mendominasi suara elektoral,” ujarnya dikutip di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Baca Juga:  Aljazair Ajukan Resolusi PBB Cabut Pembatasan oleh Israel di Jalur Gaza

Secara komunikasi politik, kata dia, putusan MK itu sejatinya merupakan konstruksi pesan yang kuat bersifat antisipatif atau mencegah berulangnya stagnasi kontestasi pemilu eksekutif dengan fakta telah terjadi aksi borong rekomendasi partai, hingga ciptakan polarisasi akut di masyarakat.

“Putusan MK yang final dan mengikat itu bisa dianggap membuyarkan hasrat potensi abuse of power, dominasi kekuasaan terhadap proses pencalonan pilpres. Setiap partai akhirnya punya daya dan posisi tawar yang setara, ” tuturnya.

Secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Retno Widiastuti mengingatkan, DPR RI untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), jangan coba-coba cari celah untuk mengakali.

“Kepada pembentuk Undang-Undang (DPR) untuk memedomani putusan MK tentang ‘presidential threshold’ dan tidak melakukan manuver-manuver yang mengingkarinya,” ujar.

Baca Juga:  Rolly-Royce di Kemensos Akhirnya Laku Setelah 3 Kali Lelang, Uangnya akan Dipakai Renovasi Rumah Miskin Ekstrem

Dia juga meminta DPR segera menjalankan fungsi legislasi, terutama dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sesuai amanat dari putusan MK tersebut. Retno juga mengingatkan, proses revisi UU tersebut harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan prinsip partisipasi publik.

“Meneguhkan kedaulatan rakyat dan hak politik warga negara karena sebelumnya dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditawarkan kepada pemilih,” ujar Retno.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan ini, usai mengabulkan gugatan bernomor  62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.

Dia menjelaskan, dikabulkan permohonan tersebut karena norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.

Baca Juga:  Kasus Gratifikasi di DJP Kemenkeu, KPK Periksa Tersangka Muhamad Haniv Hari Ini

Adapun Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”

Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, “pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.”

Back to top button