Dicecar Jaksa, Eks Ajudan Wahyu Akui Saksikan Pertemuan Mantan Bos dengan Hasto


Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar eks ajudan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Rahmat Setiawan Tonidaya, terkait pertemuan Wahyu dengan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat.

Rahmat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang terdakwa Hasto terkait kasus dugaan perintangan penyidikan dan pemberian suap, mengupayakan lolosnya Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024.

“Selama saudara menjadi Sekretaris Pimpinan Wahyu Setiawan, apakah saudara pernah melihat terdakwa (Hasto) bertemu dengan Pak Wahyu Setiawan?” tanya jaksa kepada Rahmat dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (25/4/2025).

“Pernah,” jawab Rahmat.

Rahmat pun menceritakan kronologi pertemuan antara Wahyu dan Hasto. Dia bilang, saat itu Hasto bersama sejumlah orang dari partai politik lain datang ke ruang kerja Wahyu di KPU untuk merokok.

“Di situ Pak Hasto dengan yang lain, saya lupa dari partai politik apa, ke ruangan Pak Wahyu Setiawan untuk merokok,” ucap Rahmat.

Rahmat tidak dapat mengingat pasti waktu pertemuan tersebut. Awalnya ia menyebut terjadi pada Agustus 2019. Kemudian jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rahmat saat diperiksa penyidik KPK, yang menyebut pertemuan terjadi sekitar Mei 2019, pada siang hari ketika Ishoma proses rekapitulasi rapat pleno terbuka Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.

“Di situ saudara menjawab di sekitar bulan Mei, bukan di bulan Agustus ya. ‘Bahwa pada sekitar bulan Mei 2019 atau pada saat pentahapan Pileg berupa rekapitulasi perolehan suara Pileg DPR RI pada jam kerja atau siang hari, saya mengetahui jika Hasto Kristiyanto pernah datang ke kantor KPU RI Pusat dan menemui Wahyu Setiawan. Pada saat itu saya sedang bertugas sebagai Sekretaris Pimpinan KPU RI Wahyu Setiawan’,” kata jaksa membacakan BAP Rahmat.

Dalam pertemuan itu, sejumlah saksi dari calon legislatif PDIP juga ikut masuk ke ruang kerja Wahyu.

“Bahwa ruang kerja saya berada di depan ruang Wahyu Setiawan sehingga saya bisa mengetahui secara jelas bahwa Hasto Kristiyanto datang bersama dengan para saksi caleg dari PDIP,” lanjut jaksa.

Jaksa kemudian konfirmasi ulang kepada Rahmat soal waktu dan siapa saja yang hadir dalam pertemuan tersebut, termasuk apakah Hasto ditemani saksi dari PDIP atau dari partai lain.

Rahmat menjawab bahwa selain saksi dari PDIP, terdapat juga sejumlah perwakilan dari partai politik lainnya. Namun ia mengaku tidak mengenal mereka secara detail.

“Jadi yang benar yang mana? Satu, tadi saudara sebutkan bulannya Agustus, tapi di keterangan ini bulan Mei. Kemudian yang kedua, saudara sebutkan tadi bersama dengan anggota parpol lain, tapi di sini saudara sebutkan caleg dari PDIP. Mana yang benar?” cecar jaksa.

“Mohon izin penuntut umum, kalau bulan itu saya lupa. Itu intinya di tahapan rekapitulasi terbuka di waktu Pileg. Untuk tahapan itu memang dari Mei, kalau tidak salah, sudah mulai rekapitulasi sampai bulan Agustus itu penetapannya,” jelas Rahmat.

“Untuk teman Pak Hasto itu memang termasuk saksi partai PDIP juga ada. Karena Pak Hasto, izin sepengetahuan kami, bukan saksi. Jadi saksi caleg atau Pileg itu saya lupa namanya siapa, tapi beliaunya juga ada di situ,” sambung Rahmat.

“Seingat saya ada beberapa partai, tapi saya lupa ada berapa di situ,” tambahnya.

Dalam perkara ini, Hasto Kristiyanto didakwa menghalangi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 2020. Ia juga diduga memerintahkan stafnya, Kusnadi, membuang ponsel saat dirinya diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Juni 2024.

Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap sebesar Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap tersebut diduga diberikan bersama-sama oleh Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.

Menurut jaksa, suap itu diberikan agar Harun Masiku ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Exit mobile version