Market

Dibandingkan Malaysia, Utang Rp8.353 Triliun Disebut Anak Buah Sri Mulyani Masih Aman


Hingga Mei 2025, porsi utang yang harus ditanggung pemerintah mencapai Rp8.353,02 triliun. Dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,71 persen. Enggak bahaya tah?

Direktur Jenderal (Dirjen) Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, mengeklaim, utang Indonesia masih aman. Jumlahnya lebih rendh ketibang banyak negara di dunia.

Pun demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 39 persen, menunjukkan tata kelola fiskal Indonesia, masih cukup oke dibanding banyak negara.

Selanjutnya, Febrio menyebut Malaysia sebagai perbandingan. Di mana, rasio utang negeri jiran itu, mencapai 60 persen. “Utang Indonesia rendah, kita berada di 39 persen dari PDB, itu sangat rendah dibandingkan dengan banyak negara lain. Bahkan Malaysia sudah mendekati 60 persen,” ujar Febrio di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

Baca Juga:  MPR: Wajah Indonesia Tercoreng Jika Terbukti Penambangan Nikel di Raja Ampat Rusak Lingkungan

Pada tahun ini, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun. Terdiri utang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun, sisanya sebesar Rp94,83 triliun adalah utang.

Berbeda dengan negara lain yang harus menghadapi kenyataan pahit, ekonominya diterpa krisis gara-gara ugal-ugalan menumpuk utang, Febrio mengeklaim, Indonesia masih jauh dari fenomena itu.

“Karena kita menerapkan disiplin fiskal yang benar-benar ketat,” tukas alumni SMA Taruna Nusantara (Tarnus) periode keempat (1993-1996).

Dengan disiplin dalam mengelola fiskal, lanjut mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu itu, menarik minat investor untuk membangun bisnis ke Indonesia. Mencerminkan pengelolaan keuangan negara yang baik efektif untuk mengurangi risiko investasi.

Terbukti, lanjut Febrio, banyak pemilik dana jumbo alias investor yang berburu Surat Berharga Negara (SBN). Mengapa? Karena itu tadi, investor merasa yakin akan keamanan dananya. Tentu saja, faktor cuan menjadi pertimbangan. Nah, semua keinginan pemilik modal hanya bisa terwujud jika Indonesia menerapkan displin fiskal yang mumpuni.

Baca Juga:  Menteri Ara soal Polemik Rumah Burung Subsidi: Tanah 60 Meter Persengi Harganya Mahal

Masalahnya, banyak lembaga internasional yang meramalkan rasio utang dari pemerintah Indonesia, bakal merambat naik. Pertanda utang menumpuk, di sisi lain PDB tak bergerak signifikan.

Misalnya, World Bank atau Bank Dunia memproyeksikan rasio utang terhadap PDB pemerintah Indonesia pada 2025, mencapai 40 persen. Sedangkan, IMF mematok 1 persen dan lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO)  memproyeksikan 42 persen pada 2029. 

Utang boleh asal mampu bayar. Artinya, pertumbuhan utang harus seiring dengan penerimaan negara dari pajak yang gede pula. Kalau tidak, itu berbahaya. 

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengelu soal ambruknya setoran pajak di triwulan I-2025. Hingga Maret 2025, total penerimaan pajak mencapai Rp472,8 triliun, hanya tumbuh 4,1 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Capaian ini menunjukkan tren perlambatan ketimbang 2024 yang mencatat pertumbuhan dua digit.

Baca Juga:  Pertamina Sebut Shifting Impor Minyak Jadi Strategi Negosiasi Tarif Tump

Beberapa jenis pajak yang mengalami penurunan kontribusi antara lain PPh Migas, PPN impor, serta pajak-pajak sektor komoditas. Sementara itu, pajak dari sektor perdagangan dan jasa masih memberikan kontribusi yang cukup stabil berkat perbaikan konsumsi rumah tangga.

“Penerimaan negara masih dalam jalur yang sesuai dengan asumsi APBN, namun kita harus tetap waspada dan melakukan penyesuaian strategi jika tekanan semakin besar,” kata Sri Mulyani. 
 

 

Back to top button