Arena

Di Atas Rumput Kanjuruhan Semen Padang Menulis Ulang Takdirnya


Pertandingan sore itu bukan sekadar sepak bola. Ini pertarungan antara hidup dan tenggelam. Semen Padang datang ke Kanjuruhan dengan napas tersisa dan harapan yang hampir padam. Di sisi lain, Arema FC tak lebih percaya diri. Kedua tim berangkat dari jalan terjal. Tapi hanya satu yang akan sampai di ujung.

Langit Malang memudar jingga ketika peluit kick-off dibunyikan di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (24/5/2025) sore. Tak ada riuh penonton, tak ada nyanyian penyemangat dari para pendukungnya. Hanya semilir angin yang mengiringi laga hidup-mati Semen Padang FC menghadapi Arema FC dalam pekan terakhir Liga 1 2024/2025.

Stadion Kanjuruhan, yang biasanya menjadi arena penuh intimidasi, hari itu sunyi karena sanksi larangan tampil dengan penonton dari Komdis PSSI. Namun Semen Padang datang ke Stadion Kanjuruhan dengan semangat membara di tengah beban yang belum luruh. Hasil imbang melawan Persik Kediri di pekan sebelumnya membuat peluang mereka bertahan di Liga 1 2024/2025 menggantung di ujung tanduk. Tak banyak pilihan tersisa, menang adalah satu-satunya jalan. 

Di sisi lain, tuan rumah Arema FC juga tidak dalam kondisi kepercayaan diri penuh. Sebab, tim asuhan Ze Gomes gagal memetik kemenangan saat ditahan imbang PSBS Biak di laga sebelumnya. Harapan mereka mengumpulkan 50 poin di klasemen akhir harus ditentukan di laga sore itu.  Wajah-wajah tegang berkumpul, tertumpuk, di satu lapangan berukuran 130m x 85m. Di bangku cadangan, pemain-pemain simpanan kedua tim juga tak kalah tegang. 

Baca Juga:  Jelang Final Liga Champions, Simone Inzaghi Digoda Fulus Arab

Khususnya bagi Kabau Sirah, tekanan tidak hanya datang dari tim tamu, tetapi juga dari kabar yang datang silih berganti dari dua laga krusial lainnya: PSS Sleman unggul 2-0 atas Madura United, dan Barito Putera bermain imbang melawan PSIS Semarang. Posisi tim kebanggaan Urang Awak pun sempat tercebur ke peringkat 17. Mereka berada di ambang kejatuhan, sebab babak pertama kontra Arema berakhir 0-0.

Dari tribun VIP, penasihat klub Andre Rosiade tampak gelisah. Sesekali berdiri, berteriak, atau memukul meja ketika peluang emas disia-siakan di babak pertama. “Astagfirullah, apo juo lai (apa lagi ini)?” gumamnya dalam bahasa Minang, sembari memegang kepalanya.

Memasuki babak kedua, jantung pendukung tim asal Sumatera Barat makin berdebar kencang, terutama ketika Barito Putera mampu unggul 2-1 atas PSIS Semarang. Kondisi ini membuat Semen Padang tidak beranjak dari zona merah. Sebaliknya, Laskar Antasari, julukan Barito untuk sementara ada di zona selamat, Semen Padang dan PSS di ambang turun kasta. 

Baca Juga:  Ratusan Suporter Lontarkan Ujaran Kebencian ke Bahrain, Indonesia Diganjar Denda Rp400 Juta

Keajaiban di Menit ke-27

Namun, keajaiban bagi tim Kabau Sirah akhirnya datang setengah jam setelah babak kedua di mulai. Gol pembuka kemenangan hadir. Menit ke-72, Cornelius Stewart menusuk dari sisi kanan pertahanan Arema, mengirim umpan tarik mendatar ke jantung kotak penalti. Tanpa ragu, Filipe Chaby datang menyambut bola dan melepaskan sepakan yang menghujam deras ke gawang Lucas Frigeri. 

Sebuah gol pembuka yang langsung disambut pekikan dari seluruh bangku cadangan Semen Padang. Chaby berlari dan menghempaskan badannya ke lapangan. Rekan-rekan setim pun menyerbu, memeluknya dalam lingkaran penuh haru. Seolah semua beban di pundak pecah seketika bersama gol itu.

Pelatih Semen Padang, Eduardo Almeida juga tak mampu menyembunyikan rasa lega, tangannya mengepal ke langit dan wajahnya tampak menahan air mata. Namun perjuangan belum selesai. Arema mencoba membalas, dan rasa was-was masih menggantung.

Saat Singo Edan mencoba bangkit dan mengurung pertahanan Kabau Sirah di menit-menit akhir, momen pembungkam hadir dari kaki M. Ridwan. Di menit ke-90+4, Ridwan mendapat bola di tengah lapangan dan memulai sprint panjang. Dua bek Arema coba menghadangnya, namun gagal. Dengan ketenangan luar biasa, Ridwan membelah pertahanan Singo Edan, lalu menyarangkan bola ke sudut bawah gawang. Gol itu adalah segel penyelamat, kunci dari pintu menuju Liga 1 musim depan.

Baca Juga:  Jadwal Lengkap Wakil Indonesia di Babak 16 Besar Indonesia Open 2025, Kamis 5 Juni

Setelah bola bersarang, Ridwan juga menjatuhkan dirinya ke rumput Kanjuruhan. Tangan menutup wajah, tubuhnya bergetar menahan emosi. Di belakangnya, pemain dan ofisial berhamburan masuk ke lapangan. Tangis, peluk, sujud syukur semuanya tumpah ruah di atas tanah yang saksi bisu perjuangan mereka.

Tak ada kembang api. Tak ada nyanyian dari tribun. Stadion Kanjuruhan sunyi, tapi di sanalah, Semen Padang mampu menyulap kehadiran mereka sebagai cahaya paling terang, dan suara paling lantang. Dan dari Stadion Kanjuruhan yang sunyi, Semen Padang menulis ulang takdirnya sendiri. Mereka tidak tenggelam dalam ketakutan, mereka justru berenang melawan arus dan selamat.

Karena dalam hidup, seperti yang diyakini urang Minang: Indak ado kasuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah. Tidak ada simpul kusut yang tak bisa diurai, tak ada air keruh yang tak bisa menjadi jernih. Semen Padang telah membuktikan, selama masih ada keyakinan, semua badai pasti berlalu.

Back to top button