Kanal

Dekrit (Anti) Korupsi


Setiap awal (tanggal 5) Juli seharusnya menjadi peringatan yang menggugah nurani kolektif bangsa. Peringatannya acapkali berlangsung dalam senyap. Namun, momen itu menandai tindakan luar biasa nan berisiko diambil dalam menyelamatkan arah negara dari kebuntuan politik.

Pada hari itulah, 65 tahun lalu, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden. Terlepas dari perdebatan yang mewarnainya, sulit disangkal momen historis itu menjadi tonggak monumental yang meletakkan konstitusi menjauh dari kelumpuhan.

Melazimkan Korupsi

Hari ini, negeri ini tidak sedang menghadapi kebuntuan konstitusional. Namun masalahnya, yang kita hadapi tidak kalah mencemaskan: dugaan kelumpuhan moral akibat korupsi yang telah menjalar ke setiap ruas tubuh instansi pemerintahan maupun non-pemerintahan. Kita tak lagi bicara tentang pelanggaran individu, tapi tentang sistem yang tumbuh dalam kompromi dan pembiaran. Memilukan.

Menariknya, korupsi di Indonesia tak lagi tampak sebagai peristiwa yang memalukan. Ia menjelma menjadi kelaziman yang diam-diam disepakati. Manakala terendus hukum, tak jarang kita saksikan senyum merekah dari wajah mereka, seolah-olah jadi sesuatu yang biasa.

Tidak heran kasus-kasus seperti korupsi korporasi Sritex, yang menyingkap simpul gelap antara bisnis dan keuangan negara, serta korupsi proyek infrastruktur di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa praktik ini telah melampaui nalar. Ia bak meresap, merasuk, dan mengeras menjadi ‘infrastruktur’ kekuasaan itu sendiri.

Baca Juga:  Haji 2025 Amburadul, Siapa Bertanggung Jawab?

Sayangnya, ironi yang tak kalah serius juga merebak dari cara kita menyikapinya. Korupsi seolah tengah berhadapan dengan rakyat yang telah lelah melawan. Atau jangan-jangan: memang sengaja dibungkam dan terpaksa berdamai sebagai cara bertahan.

Dekrit Nurani, Dekrit Anti-Korupsi

Dalam konteks ini, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi cermin yang relevan. Ia menunjukkan bahwa ketika sistem membentur kemandekan, negara perlu bertindak. Tapi yang kita butuhkan kini bukan dekrit formal ketatanegaraan, tetapi “dekrit nurani”: dekrit anti-korupsi. Ini sebuah kesadaran bersama bahwa kejujuran merupakan fondasi sekaligus benteng keberlangsungan republik.

Michael Johnston dalam Syndromes of Corruption (2005) misalnya, menyebut bahwa korupsi sistemik tumbuh bukan karena hukum yang lemah, melainkan karena para aktor dalam sistem kehilangan insentif untuk berlaku benar. Hukum memang bisa diperketat, namun jika elit politik, aparat birokrasi, dan pebisnis besar menjadikan kekuasaan sebagai lahan dagang, maka tak pelak hukum hanya akan jadi simbol yang dikalahkan oleh praktik di lapangan.

Baca Juga:  Raja Ampat: Surga yang Kini Menangis dalam Senyap

Seturutnya, Bo Rothstein dalam karya The Quality of Government (2011) menambahkan, bahwa dalam masyarakat yang penuh ketidakpercayaan, korupsi menjadi siklus yang berulang. Di satu sisi, pemberi suap nyaman karena tak percaya lagi akan keadilan. Dan di sisi lainnya, penerima suap terlanjur percaya bahwa kejujuran tidak (lagi) berharga. Akibatnya, kita hidup dalam spiral saling curiga yang menyuburkan normalisasi keculasan.

Inilah titik nadir yang menyakitkan: manakala kejahatan disikapi dengan kelaziman, lalu pelanggaran hukum dikemas dalam kebijakan, maka di saat yang sama negara cenderung memilih diam di tengah peminggiran integritas. Dalam situasi demikian, manakala hukum hanya ditegakkan saat menguntungkan, dan dibiarkan ketika merugikan, maka konstitusi tak lebih dari secarik teks tanpa jiwa.

Menyalakan Suara Nurani

Padahal, republik ini dibangun dengan susah payah. Ia dinyalakan dalam keringat dan darah mereka yang percaya bahwa keadilan sosial bukan utopia. Maka menjadi tugas setiap generasi untuk menjaga agar keadilan itu tetap bernyawa.

Baca Juga:  Anggota Dewan Redaksi Inilah.com Dipercaya Jadi Komisaris Pertamina

Jika korupsi hari ini dianggap sebagai risiko biasa dalam proses pembangunan, maka sesungguhnya kita sedang mencabut akar republik pelan-pelan dari dalam.

Dekrit anti-korupsi bukanlah suatu keputusan formalitas, tapi pilihan sadar: menolak memberi dan menerima suap; menolak kolusi meski sistem mendorong; serta berani berkata tidak saat semuanya memilih bungkam. Memang, ini tak mudah dalam tindakan.

Kita tentu tidak berharap ada krisis yang lebih gawat dari momen 5 Juli 1959 agar bangsa ini terbangun. Namun bukankah tak perlu menunggu keruntuhan agar kita kembali menengok nurani?

Sejarah sudah menunjukkan, meletakkan korupsi dalam pembiaran berarti mendorong stagnasi dan bahkan kemunduran kendati dalam diam.

Jika republik ini hendak dijaga, maka ia tak cukup dilindungi oleh pasal-pasal produk hukum belaka. Ia hanya akan hidup jika dijaga oleh setiap bumi putera yang memegang kejujuran seperti pegangan terakhir.

Di tengah dunia yang terus dibayang-bayangi korupsi, barangkali suara nurani terdengar lirih. Tapi boleh jadi suara yang lirih itulah yang paling dibutuhkan hari ini.

Back to top button