Curhat Sering Kena Hajar, KPU Juga Ngeluh tak Dilibatkan MK terkait Pemisahan Pemilu


Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin mengaku dirinya dan jajarannya sering kena ‘hajar’ oleh masyarakat, imbas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemilu. Dia juga protes pihaknya tak dilibatkan dalam putusan terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.

“Kami ingin menyampaikan bahwa di antara perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi yang banyak diuji, salah satunya ini. Nah ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara meskipun alasannya juga sama dengan kesimpulan banyak pihak,” ujar dia dalam acara diskusi yang digelar Fraksi PKB di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).

Tapi Afif mengaku bersyukur karena putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah keluar setelah masa pemilihan umum (Pemilu) rampung. Jika tidak, KPU bisa jadi samsak lagi.

“Bapak Ibu sekalian, putusan MK ini kalau kita bisa syukuri, alhamdulilah-nya setelah Pilkada ya kan,” kata Afif dalam diskusi.

Kemudian, dia mengungkit soal putusan MK yang sebelumnya keluar pada saat tahapan pemilu. Hal ini kata Afif, membuat KPU terkena dampak dan kritik oleh masyarakat.

“Untuk membedakan, putusan 90, 60, dan 70 pilkada kemarin pencalonan semua di masa tahapan. Yang kena semprot ya KPU terus kok. Iya kan? Yang ketiban KPU terus, yang kena hajar ya KPU terus, termasuk ketika PSU-PSU ini. Masalahnya apa yang kita kerjakan paling rumit se-Indonesia, se-dunia,” ungkap dia.

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

Exit mobile version