Market

CELIOS: Beban Utang Meningkat, Nilai Tukar Rupiah Semakin Tertekan


Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kini menjadi isu besar. Dalam tiga bulan terakhir, nilai tukar rupiah terus melemah sehingga menimbulkan dampak besar bagi perekonomian nasional. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengungkapkan terdapat lima faktor utama yang memicu pelemahan rupiah. Salah satunya adalah sentimen negatif terkait kondisi ekonomi dan politik di Amerika Serikat (AS). 

Para investor global cenderung mengalihkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman (flight to quality) sehingga menyebabkan arus modal keluar dari Indonesia. Tercatat, penjualan bersih asing (net sell) mencapai Rp36,5 triliun dalam tiga bulan terakhir.

Tidak hanya itu, kebijakan pengalihan saham BUMN ke Danantara juga menimbulkan kecemasan di kalangan investor. Kekhawatiran utama terkait tata kelola perusahaan dan potensi pengurangan dividen. “Ini membuat investor berpikir ulang untuk tetap menanamkan modalnya di Indonesia,” kata Bhima Yudhistira ketika dihubungi Inilah.com pada Jumat, 28 Maret 2025.

Baca Juga:  Kumpulkan KMP, Presiden Prabowo Respons Perang Dagang Trump

Di sisi lain, ekspor komoditas utama seperti batubara, nikel, dan barang tambang lainnya turut mengalami pelemahan. Penurunan permintaan global terhadap bahan mentah dan olahan primer turut memperburuk situasi, mengurangi pendapatan devisa negara yang berperan penting menjaga stabilitas rupiah.

Saat Ramadan dan mendekati musim mudik Lebaran, pergerakan ekonomi juga cenderung melambat. Investor semakin berhati-hati dalam memproyeksikan daya beli masyarakat pasca-Lebaran, yang diprediksi akan mengalami perlambatan signifikan.

Faktor terakhir yakni kinerja fiskal APBN yang masih belum optimal. Penerimaan pajak belum mencapai target, sementara belanja pemerintah dinilai kurang efisien. “Beban utang pemerintah pun meningkat cukup tajam pada kuartal pertama 2025, menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah,” kata Bhima.

Baca Juga:  15 Negara yang Kemungkinan Paling Terkena Dampak Tarif Resiprokal Trump

Ia menyebut, dampak dari pelemahan rupiah paling dirasakan oleh masyarakat. Biaya impor meningkat, membuat harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak. Gandum, bawang putih, dan kedelai—komoditas yang sebagian besar diimpor—berpotensi mengalami kenaikan harga drastis. Jika tidak diantisipasi, ini dapat memicu lonjakan inflasi yang semakin memberatkan masyarakat kecil.

Tak hanya itu, dunia kerja juga terancam. Perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor akan menghadapi kenaikan biaya produksi signifikan. Mereka juga harus membayar utang luar negeri dengan kurs yang lebih tinggi. “Jika kondisi ini terus berlanjut, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menjadi kenyataan yang pahit,” tutur Bhima.

Selain itu, beban APBN pun semakin berat. Pemerintah harus mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk subsidi energi akibat pelemahan rupiah. Dampaknya, harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik berpotensi naik, membuat tekanan ekonomi masyarakat semakin tinggi.

Baca Juga:  Relaksasi TKDN Bikin Industri Ketar-ketir, Pengusaha Ingatkan Gelombang PHK Pasca Lebaran

Di sisi lain, Bhima melihat upaya yang dilakukan pemerintah masih jauh panggang dari api. Ia mengingatkan, tingginya minat investor asing di lelang surat utang pemerintah seharusnya dipandang sebagai alarm peringatan.

“Investor asing beralih dari pasar saham Indonesia ke surat utang karena imbal hasilnya (yield) meningkat. Meski tampak menguntungkan, ini sebenarnya pertanda buruk karena menunjukkan bahwa risiko keuangan negara juga meningkat,” tuturnya.

Bhima mengingatkan jika Indonesia terus menambah utang maka dampaknya bisa meluas ke nilai tukar rupiah dan memicu krisis yang lebih besar.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah INSIDER Edisi 6 April 2025Rupiah Terpuruk, Daya Beli Kian Mengkerut”.

Back to top button