Market

Bos LPS: PPN 12 Persen Bikin Pertumbuhan Tabungan Seret


Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menilai tabungan masyarakat, terutama tiering di bawah Rp100 juta, bakal sulit mengalami peningkatan signifikan, sebagai imbas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dimulai awal tahun depan.

“Daya beli dicurigai menurun, kebijakan kenaikan pajak tidak terlalu akurat, tapi saya nggak tahu, mungkin memang pemerintah lagi butuh uang untuk menambal anggarannya, mungkin juga bagus kalau uangnya langsung dipakai untuk program yang berguna untuk masyarakat juga,” kata Purbaya, usai LPS Morning Talks di Kantor LPS, Jakarta, Selasa (17/12/2024).

Ia menjelaskan, saat dana masyarakat masuk ke pemerintah, perlu waktu untuk kembali ke sistem ekonomi lewat pembelanjaan. Contohnya, saat dana itu baru dibelanjakan empat bulan kemudian, dampaknya terhadap ekonomi bakal tertunda.

“Nah, let’s say empat bulan di pemerintah sebelum dibelanjakan, dampaknya kan terlambat empat bulan atau lebih, kan? Ya itu paling nggak dalam jangka panjang akan mempengaruhi tren tabungan. Dalam keadaan sekarang tanpa itu pun sudah cenderung menurun saya pikir, kalau lihat dari survei LPS, jadi kelihatannya akan sulit untuk naik,” terang Purbaya.

Ia mengatakan peningkatan signifikan akan menjadi lebih sulit. Meski demikian, Purbaya menyebut tren tabungan tidak akan serta merta turun karena kebijakan ini.

Baca Juga:  Kembangkan Potensi Desa, Kelompok Wanita Tani Ini Terus Berinovasi Berkat Pemberdayaan BRI

“Belum, tidak [langsung] anjlok, tapi saya melihat sulit untuk naik kencang,” ucapnya.

Ia mengatakan dampak negatif kebijakan pajak terhadap tabungan maupun DPK berpotensi tidak langsung terasa dalam jangka pendek. Itu selama dana pemerintah dibelanjakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Seandainya ada pun, mungkin saya bilang tadi, jangka pendek dalam setahun mungkin bisa nggak kelihatan kalau uangnya dibelanjakan dengan baik dan kita berhasil membalik arah pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Purbaya juga mengatakan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) masih di kisaran angka 6 hingga 7 persen. Ia mengatakan pihaknya belum melihat adanya dampak signifikan dari kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi maupun tabungan masyarakat.

“DPK kita prediksi 6-7 persen, sampai sekarang belum kita ubah. Tapi tentunya kan itu akan adaptif tergantung perkembangan dari waktu ke waktu,” kata dia.

Penderitaan Kelas Menengah Makin Bertambah

Sementara itu, Direktur Riset Bright Institute M. Andri Perdana memperkirakan tekanan inflasi pada 2025 bisa mencapai 4,8 persen, dari yang saat ini di level bawah 2 persen karena kebijakan PPN menjadi 12 persen.

“Kita baru menghitung potensi pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan kembali turun menjadi di bawah 4,8 persen, lebih rendah dari 2023 yang sebenarnya sudah lebih rendah dari 2022,” ujarnya, seperti dikutip Rabu (18/12/2024).

Baca Juga:  PKS Curiga Ada Permainan Harga, Stok Beras di Bulog Melimpah tapi Sampai Konsumen Mahal

Dengan besarnya tekanan inflasi itu, Andri bahkan memperkirakan, ekonomi kelas menengah akan kembali tertekan akibat tekanan inflasi itu.

“Untuk angka tekanan inflasi dan penurunan kelas menengah kita belum proyeksikan angkanya, tapi dari sini kita bisa sangat melihat bahwa tendensinya akan berdampak negatif terhadap dua indikator tersebut,” kata dia.

Andri menjelaskan, menaikkan tarif PPN ke 12 persen kepada barang-barang premium saja yang sebelumnya dibebaskan PPN sangat berpotensi mendorong harga barang non-premium ikut naik.

Ini disebabkan karena kenaikan harga barang premium bisa mendorong peralihan permintaan dari barang premium ke barang non-premium atau inferior goods, misalnya yang tadinya membeli beras, buah, minyak, dan ikan premium bisa beralih ke beras, buah, minyak, dan ikan non-premium.

“Meningkatnya tingkat permintaan di barang non-premium ini bisa mendorong harga-harga barang tersebut ikut naik, dan apalagi perlu diingat, bahwa sejatinya banyak barang premium tersebut selama ini banyak dibeli kelas menengah yang memilih barang terbut oleh karena lebih kepada faktor aksesibilitas dan ketersediaan dibandingkan kemewahan, seperti beras ataupun minyak goreng premium,” ucap Andri.

Adapun Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menegaskan, memang kebijakan PPN yang dianut pemerintah berlaku umum, artinya setiap barang dan jasa yang menjadi objek pajak akan terkena PPN 12 persen seperti baju, layanan streaming Spotify dan Netflix, hingga kosmetik. Kecuali, barang itu dikecualikan oleh pemerintah.

Baca Juga:  Fokus Garap KPR Lewat Digital, BTN Optimistis Bisa Tumbuhkan Kredit 8 Persen

“Pengelompokannya sudah kita jelaskan mana yang kena 1 persen tambahan, mana yang dibebaskan, mana yang DTP, sudah kita jelaskan. Di luar itu secara regulasi terkena PPN 12 persen, jadi kena tambahan 1 persen (dari 11 persen),” tegas Susiwijono.

Adapun untuk narasi PPN 12 persen yang akan dikenakan terhadap barang-barang mewah, sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono tekankan dikenakan terhadap barang dan jasa, termasuk jasa pendidikan dan kesehatan yang selama ini premium, namun masuk tergolong yang dikecualikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.

“Arahan Pak Presiden kan barang mewah itu yang didetailkan di PMK (Peraturan Menteri Keuangan) nya baik barang dan jasanya, mewahnya seperti apa, itu yang di level teknis kita bahas sama-sama, tapi untuk barang apapun mulai Netflix, Spotify dan lain-lain itu pengenaan dari 11 ke 12 seluruh barang dan jasa akan kena dulu, baru dari itu ada yang dikecualikan,” paparnya.
 

Back to top button