Kanal

Bisnis Menggairahkan Satelit LEO


Ketika persaingan di industri telco matang di darat dengan penyebaran prasarana base transceiver station (BTS) yang luas, persaingan di kawasan langit pun makin marak. Meski industri telco tidak lagi mengandalkan satelit konvensional (fixed satellite service atau FSS), geliat satelit di orbit rendah tetap menggairahkan.

Satelit yang “mangkal” di ketinggian 36.500 km di atas Bumi dan disebut satelit geostationary earth orbit (GEO) itu bergerak mengikuti kecepatan rotasi Bumi dengan kecepatan 9.360 km/jam.

Satelit komunikasi andal saat ini ditempatkan di orbit rendah, low earth orbit (LEO), di ketinggian antara 200 km hingga 2.000 km di atas Bumi. Seperti satelit Starlink milik Elon Musk, Eutelsat dari Eropa, atau Iridium yang sebenarnya sudah ada sejak 1990-an, bangkrut, lalu bangun lagi.

Satelit LEO menjadi andalan komunikasi karena menyuguhkan berbagai keunggulan dibanding satelit GEO atau medium earth orbit (MEO). Satelit GEO hanya mampu menyuguhkan latensi—waktu yang dibutuhkan saat data atau suara dikirim hingga sampai ke tujuan—mencapai 600 milidetik (ms), sedangkan satelit LEO bisa 20 hingga 40 ms, mendekati latensi komunikasi terestrial.

Ukuran satelit GEO dan LEO pun beda jauh. Satelit GEO seperti satelit high throughput satellite (HTS) Satria-1 milik Bakti Komdigi beratnya sekitar 4,8 ton, sementara satelit LEO hanya antara 1 kg hingga 260 kg.

Usia satelit GEO bisa 15 hingga 20 tahun, sementara Starlink hanya sekitar 5 tahun. Masalahnya, ketinggian posisi satelit GEO yang jauh dibanding LEO membuat pengaruh daya tarik Bumi (gravitasi) lebih ringan. Dengan kecepatan mengelilingi Bumi 27.000 km/jam dan akibat gravitasi, posisi satelit LEO harus sering dikoreksi yang menguras persediaan bahan bakar roket di satelit untuk mengembalikan posisinya ke orbit.

Baca Juga:  Jalan tak Ada Ujung untuk Memartabatkan Guru Indonesia

Hingga 4 Mei 2025 di langit ada 12.149 satelit di berbagai orbit, terbanyak di LEO dengan Starlink 7.135 buah—namun hanya 7.105 satelit yang beroperasi—lalu 648 satelit OneWeb yang akan ditambah dengan 3.236 (rencana) satelit Amazon. Ada lagi 72 satelit milik Qiangfan China, dan 80 satelit Iridium dengan 66 yang aktif, setelah pada 2009 satu satelitnya hancur bertabrakan dengan satelit Kosmos dari Rusia.

Satelit China

Qiangfan dari China ikut membangun diam-diam meski sangat berambisi melampaui Starlink dalam dua tahun. Niat yang sama juga dimiliki Amazon, sementara Iridium dari AS sudah punya sekitar 100.000 pelanggan, baik komersial maupun pemerintah.

Persatelitan China tidak bisa dipandang sebelah mata. Soal seluler generasi 5 (5G) yang banyak operator dunia masih tertatih-tatih untuk meraihnya, China bahkan sudah masuk ke 6G yang menggunakan satelit sebagai prasarana. Tidak ada sulitnya bagi mereka untuk tiba-tiba memiliki puluhan ribu satelit LEO dengan teknologi terbaru pula.

Persaingan pun marak di harga, yang secara normal tidak mungkin bisa menyamai harga layanan ponsel seperti kita miliki saat ini. Starlink sebagai pelopor sudah mulai melayani banyak negara, termasuk Indonesia, dengan harga langganan di atas Rp750.000 per bulan, selain biaya peralatan sebesar Rp5,9 juta—cukup mahal bagi rata-rata pengguna ponsel.

Baca Juga:  Scooter Prix dan Mandalika Racing Series Bisa Jadi Katalisator Ekonomi

Berkaca pada ledakan mobil listrik saat ini, berbagai merek mobil listrik China bisa menawarkan harga jauh di bawah mobil-mobil serupa buatan AS, Eropa, Jepang, atau Korea dengan spesifikasi yang lebih baik. Bukan tidak mungkin hal sama terjadi di layanan ponsel langit.

Layanan Starlink sudah bisa menghubungkan ponsel ke satelit dan sebaliknya. Dari permukaan Bumi mana saja—perkotaan, permukiman, samudra, atau hutan belantara—tanpa harus melewati stasiun Bumi seperti yang diharuskan bagi Satria-1 atau Telesat.

Untuk bisnis satelitnya, Elon Musk menganggarkan dana hingga 10 miliar dolar AS (sekitar Rp165 triliun) demi meluncurkan 42.000 satelit LEO pada 2027 sejak Starlink pertama pada 23 Mei 2019. Pada 2024, bisnis Starlink-nya sudah mengisi kocek Musk hingga 6,6 miliar dolar AS, dan tahun 2025 ini sakunya makin tebal dengan perkiraan pendapatan hingga 11,8 miliar dolar AS—modalnya impas kurang dari enam tahun.

Dibanding pesaing dan calon pesaing potensialnya—Amazon dan Qiangfan—Musk memang lebih unggul karena ia menguasai semua jalur dari mulai produksi satelit, peluncuran, hingga operasi. Ia menggunakan roket Falcon 9 SpaceX miliknya sendiri, yang setiap minggu meluncurkan 60 satelit sekaligus.

Menarik Pemodal

Roket peluncurnya pun dibuat efisien dengan cara mengirim kembali roket ke peluncuran usai melepas satelit ke orbit, untuk digunakan pada sesi peluncuran berikutnya. Sementara para pemilik satelit LEO lainnya umumnya menyewa dan pemilik roket peluncur mengembalikan roketnya ke Bumi dalam keadaan hangus dan hancur.

Baca Juga:  Ketika Pupuk Menyuburkan Korupsi

Namun, pada Juli 2024 ada 20 satelit Starlink gagal diorbitkan, jatuh dan terbakar, 73 kembali ke atmosfer, sementara sekitar 100 satelit lainnya akan disingkirkan dari langit karena cacat desain. Pada Januari 2025 lalu, sebanyak 120 satelit Starlink terbakar di atmosfer sehingga terjadi hujan meteor. Kerugiannya kalikan saja jika harga satu Starlink 500.000 dolar AS (sekitar Rp8,2 miliar).

Satelit GEO dan MEO pun saat memasuki atmosfer akan hancur terbakar dan bisa musnah jika jatuh ke Bumi. Satelit jenis ini yang tidak bisa dioperasikan lagi karena teknologi satelitnya sudah usang (obsolete) atau bahan bakarnya nyaris habis, akan didorong ke ruang angkasa yang lebih tinggi lagi, bergentayangan di sana selamanya.

Bisnis satelit komunikasi makin menarik para pemodal, menjanjikan banyak keuntungan sehingga langit pun makin penuh, walau tidak mengganggu jalur penerbangan komersial. Ketinggian keduanya berbeda, pesawat maksimal sekitar 12 km, satelit LEO 200 km ke atas.

Namun, pengoperasian satelit LEO ditentang para pengamat langit, karena setiap satelit memantulkan cahaya menyilaukan yang menghalangi upaya para astronom mengamati langit pada malam hari. Upaya sudah dilakukan antara lain dengan mengecat satelit LEO menggunakan cat yang tidak memantulkan cahaya.

Back to top button