Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang ulang soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan masuknya gugatan baru yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana, yang didampingi kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa.
“Jadwal sidang Rabu, 8 November 2023, pukul 13:30 WIB. Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023. Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” dikutip dari keterangan jadwal sidang MK dari website MK, Selasa (7/11/2023).
Penggugat menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dia meminta agar ditambahkan frasa baru, “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi”.
“Sehingga, bunyi selengkapnya ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pilkada pada tingkat daerah provinsi’,” kata Brahma dalam gugatan bernomor 141/PUU-XXI/2023.
Adapun alasan pengajuan gugatan tersebut adalah latar belakang putusan MK yang menjadi polemik di masyarakat. Penggugat berharap MK dapat dengan segera memutus cepat perkara ini.
“Permohonan 141/2023 adalah solusi bagi MK untuk memperbaiki Kekeliruan dalam Amar Putusan 90/2023 yang menimbulkan polemik yang dapat menjatuhkan kepercayaan publik ke MK artinya melalui Perkara 141/2023 MK dapat memperbaiki kekeliruan dalam amar putusan 90/2023. Artinya MK pun dapat memutus secara cepat karena permohonan 141/2023 adalah putusan untuk mengkoreksi putusan 90,” ucapnya dalam petitum.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu, tentang syarat berpengalaman sebagai kepala daerah.
Namun, ada 4 Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau disenting opinion dalam putusan tersebut. Selain dissenting opinion, ada 2 hakim Mahkamah Konstitusi yang tetap setuju dengan putusan tersebut. Namun, kedua hakim MK itu memiliki alasan berbeda.