Belajar Energi Bersih di Sekolah, Langkah Kecil Hadapi Krisis Global

Krisis iklim dan suhu ekstrem kian nyata. Di tengah kondisi tersebut, sektor pendidikan didorong aktif membekali pelajar dengan pemahaman tentang transisi energi bersih yang adil dan inklusif, sebagai bagian dari solusi berkelanjutan bagi masa depan.
Ketua komunitas RE–Agent, Valensiya, menyatakan bahwa generasi muda, khususnya pelajar SMP dan SMA, perlu diberi ruang untuk mempelajari isu energi terbarukan yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
“Ketika menyoal dampak krisis iklim, masyarakat marjinal yang paling rentan. Di sini anak muda bisa ikut menyuarakan hak atas hidup yang layak dan sehat,” ujarnya dalam kegiatan RE-Agents Goes to School di SMAN 3 Jakarta, Selasa (28/5/2025).
Acara ini merupakan kolaborasi antara komunitas RE–Agent dan organisasi masyarakat sipil Trend Asia, yang menghadirkan pameran energi terbarukan dan materi pendidikan kritis terkait transformasi energi.
Sekolah Jadi Ruang Aksi
Kepala SMAN 3 Jakarta, Mukhlis, menyambut baik inisiatif tersebut. Menurutnya, pendidikan transisi energi masih jarang dilakukan di sekolah, padahal penting untuk memperluas wawasan pelajar.
“Ini kesempatan besar bagi siswa kami untuk memahami transformasi energi bersih. Pendidikan seperti ini harus diperbanyak,” ujar Mukhlis.
Guru geografi SMAN 3, Nadya Fidina Salam, menambahkan bahwa pembelajaran transisi energi bisa dilakukan lewat berbagai pendekatan, mulai dari menghitung pemakaian listrik, analisis suhu bumi dalam pelajaran fisika, hingga proyek sederhana berbasis internet.
“Kesadaran soal energi bersih harus diajarkan sejak dini agar bisa diimplementasikan dalam pola hidup ramah lingkungan,” tegas Nadya.
Krisis Iklim Meningkat, Energi Terbarukan Mendesak
Laporan World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Fenomena El-Nino yang berlangsung sejak akhir 2023 turut memperparah kondisi, dengan meningkatnya pelepasan karbon akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Namun, di tengah kebutuhan mendesak untuk beralih ke energi bersih, pemerintah justru merilis RUPTL 2025–2034 yang masih menambah kapasitas PLTU batubara sebesar 6,3 GW dan PLTG sebesar 10,3 GW.
“Ini mengunci kita dalam ketergantungan pada energi fosil. Padahal potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.686 GW dan harganya 15 persen lebih murah,” ungkap Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia.
Inovasi dari Masyarakat, Contoh dari Blora dan Bandung
Transformasi energi juga dapat tumbuh dari inisiatif lokal. Di Blora, guru otomotif SMKN 1, Noer Chanief, menciptakan Omset Pintar—gabungan pembangkit tenaga surya dan angin yang digunakan untuk menerangi jalan desa dan ladang.
“Di desa-desa, listrik itu kemewahan. Kami bangun kincir dengan panel surya sejak 2014 agar masyarakat bisa menikmati listrik bebas emisi dan biaya,” jelas Noer.
Sementara itu, di Kampung Tangsi Jaya, Bandung Barat, debit Sungai Ciputri dimanfaatkan sebagai pembangkit mikrohidro untuk mendukung koperasi pengolahan kopi warga.