Upaya pendistribusian bantuan yang didukung AS dan Israel telah menuai kritik. Pasukan Israel menembaki warga Palestina yang kelaparan saat mereka memadati titik bantuan kemanusiaan di Rafah, menewaskan sedikitnya tiga warga sipil dan melukai 46 orang, sementara tujuh orang masih hilang.
Adegan kacau dan mematikan pada Selasa (27/5/2025) itu dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah organisasi kontroversial yang dipromosikan oleh Israel dan AS. Menurut para saksi mata, kepanikan dan kelaparan mendorong massa yang putus asa ke zona bantuan, namun malah disambut dengan tembakan tentara Israel.
Sementara militer Israel mengklaim telah melepaskan tembakan peringatan untuk memulihkan ketertiban di luar lokasi, Kantor Media Pemerintah Gaza menyebut insiden itu sebagai pembantaian disengaja dan kejahatan perang yang dilakukan dengan kejam. Kantor tersebut juga menuduh pasukan Israel memancing warga sipil yang kelaparan ke zona penyangga dengan dalih memberikan bantuan.
“Pembantaian ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri; ini merupakan akibat langsung dari kebijakan bantuan tidak manusiawi yang dirancang lebih untuk mengendalikan daripada untuk memberikan belas kasihan,” kata pernyataan itu.
Situasi di Gaza sendiri masih menyedihkan akibat ulah Israel melakukan serangan dan blokade bantuan kemanusiaan. Gaza masih terkepung, dengan sebagian besar penyeberangan ditutup, listrik langka, dan badan-badan PBB melaporkan kerawanan pangan yang merajalela.
GHF Menggunakan Logika Militer
GHF membantah melakukan kesalahan, mengklaim stafnya sempat mundur selama keriuhan tersebut untuk memberi ruang bagi ketenangan dan kemudian melanjutkan operasi, mendistribusikan lebih dari 460.000 makanan. Namun, kelompok-kelompok kemanusiaan berpendapat bahwa situasi tersebut mengungkap kelemahan mendasar dalam desain program tersebut.
Hardin Lang, wakil presiden program dan kebijakan di Refugees International, menuduh GHF beroperasi berdasarkan logika militer. “Ini bukan cara yang tepat untuk memberi makan penduduk yang berada di ambang kelaparan,” katanya, seraya memperingatkan bahwa lokasi tersebut tidak dilengkapi protokol keselamatan, akses medis, atau koordinasi yang memadai dengan lembaga bantuan berpengalaman.
Juru bicara PBB Stéphane Dujarric mengatakan bantuan harus didistribusikan secara tidak memihak dan aman, seraya menambahkan bahwa “gambar-gambar itu menyayat hati. Apa yang kami lihat dari rencana ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut”.
Operasi GHF telah dibela mati-matian oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menggambarkan pembantaian itu sebagai “kehilangan kendali sesaat” selama konferensi pers.
Departemen Luar Negeri AS membela inisiatif bantuan tersebut, meremehkan insiden itu sebagai “keluhan tentang gaya”. Juru bicara Tammy Bruce menegaskan upaya tersebut berhasil dan menuduh Hamas mencoba menyabotase distribusi. “Ini adalah lingkungan yang rumit, dan ceritanya adalah bahwa hal itu berhasil,” katanya.
‘Ghetto yang Dipisahkan Berdasarkan Ras’
Namun, otoritas Palestina, LSM lokal, dan pengamat internasional tidak setuju. Ahmed Bayram dari Norwegian Refugee Council menyerukan agar inisiatif tersebut dibatalkan. “Bukan begini cara bantuan seharusnya diberikan, bukan oleh kekuatan pendudukan di kota yang telah diratakan,” katanya.
Kantor media Gaza menyebut lokasi tersebut sebagai “ghetto (pemukiman minoritas yang kumuh) dipisahkan secara rasial” kemudian disamarkan sebagai zona kemanusiaan. Sebuah pernyataan terperinci menuduh GHF berkoordinasi dengan intelijen Israel dan menyalahgunakan pengiriman bantuan dari organisasi internasional yang netral. GHF adalah operasi baru tanpa situs web dan halaman Wikipedia yang membuat kontak dengan kelompok tersebut menjadi sulit.
Dalam sebuah pernyataan, kantor media Gaza juga menuntut penghentian segera operasi GHF, penyelidikan internasional atas kematian tersebut, dan akses tanpa batas bagi lembaga kemanusiaan independen. Kantor itu juga meminta Dewan Keamanan PBB dan kekuatan global untuk menekan Israel agar menghentikan pengepungan.
“Apa yang terjadi di Rafah bukanlah sebuah kecelakaan. Itu adalah hasil dari kebijakan yang disengaja untuk menggunakan kelaparan sebagai senjata,” kata pernyataan itu.