Tak Pernah Ada Gencatan Senjata di Gaza, yang Ada hanya Pembunuhan dengan Cara Lain

Gaza akan berdarah lagi, dunia akan menyaksikannya, dan dalam beberapa minggu atau bulan, “gencatan senjata” lain akan diumumkan hanya untuk dilanggar lagi. Siklusnya adalah perang, kehancuran, bertahan hidup, dan kemudian perang lagi.
Gencatan senjata di Gaza berarti keheningan, tak ada pesawat tanpa awak yang terbang di atas kepala, tak ada rudal yang melesat di langit, dan tak ada orang tua memeluk anak-anaknya yang bertanya-tanya apakah malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.
Artinya, keluarga-keluarga bangkit dari bayang-bayang, anak-anak kembali ke sekolah-sekolah yang tersisa, dan kota seperti Gaza, yang hancur karena perang, dapat menghirup udara tanpa khawatir itu mungkin napas terakhirnya. Namun, bahkan saat gencatan senjata, tidak ada kedamaian seperti dalam pengertian yang berlaku di tempat lain di dunia.
Pesawat tempur Israel masih saja menghancurkan rumah-rumah, bahkan pekan lalu menewaskan sedikitnya 400 orang dan melukai banyak lagi. Warga Palestina masih terbunuh, kelaparan, dan mati lemas akibat pengepungan.
Jurnalis dan penulis Dunya Suleiman yang tinggal di Gaza mengungkapkan, apa yang Israel dan dunia sebut sebagai gencatan senjata, Palestina mengenalnya sebagai perang dengan cara lain. Ketika Israel menyetujui gencatan senjata pada 19 Januari, menurut Suleiman, Israel tidak menghentikan serangannya ke Gaza. Selama sekitar dua bulan sejak itu, serangan udara terus berlanjut, meskipun lebih jarang.
“Bahkan di Tepi Barat, warga Palestina terus ditembak mati di siang bolong. Pengepungan di Gaza tetap utuh, mencekik akses ke makanan, air, dan obat-obatan. Bahkan ketika para pejabat dan tokoh media mengulang-ulang istilah “gencatan senjata”, rumah sakit di Gaza runtuh di bawah beban kelaparan, luka yang tidak diobati, dan pemadaman listrik yang menyesakkan,” ungkap Suleiman yang dipastikan merupakan nama samaran untuk melindungi identitasnya, dalam tulisannya di The New Arab (TNA), kemarin.
Kemudian, pada hari Selasa 18 Maret, fasad itu runtuh seluruhnya. Ilusi bahwa pernah ada jeda hancur ketika Israel meningkatkan serangannya, mengungkapkan apa yang selalu diketahui orang Palestina: apa yang disebut gencatan senjata hanyalah awal dari lebih banyak kehancuran dan patah hati.
Pasukan Israel melancarkan serangan besar-besaran di Gaza, menargetkan Khan Younis di selatan, Kota Gaza di utara, dan Deir el-Balah di Gaza tengah. Anak-anak terbunuh di tempat tidur mereka. Seluruh keluarga terbunuh. Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa mayat-mayat masih terkubur di bawah reruntuhan.
“Sebenarnya Israel tidak pernah menghormati gencatan senjata. Israel hanya menunggu saat untuk melancarkan serangan berikutnya. Bagi Israel, perdamaian adalah ancaman. Perang bukanlah kegagalan kebijakan. Itu adalah kebijakan,” tandas Suleiman.
Siklus Trauma yang Berulang di Gaza
Selama beberapa dekade, ahli strategi militer Israel telah berbicara terbuka tentang “memotong rumput” — istilah mengerikan yang mereka gunakan untuk menggambarkan serangan rutin dan berkala di Gaza untuk melemahkan perlawanan Palestina dan memastikan kendali.
Menurut pandangan mereka, setiap beberapa tahun, Gaza harus diratakan, infrastrukturnya harus dihancurkan, dan penduduknya harus dipaksa memulai hidup baru. Tujuannya bukanlah kemenangan. Tujuannya adalah hukuman karena berani menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar hidup di bawah pendudukan.
Bahkan gagasan bahwa warga Palestina memiliki kendali nyata atas hidup mereka sendiri adalah sesuatu yang ditolak Israel. Itulah sebabnya gencatan senjata tidak pernah dihormati. Itulah sebabnya setiap jeda dalam perang diselingi oleh pembunuhan, penyerbuan, dan blokade.
Israel tidak mencari penyelesaian akhir atas perangnya di Gaza karena hal itu akan mengharuskan pengakuan terhadap warga Palestina sebagai orang yang setara, sebagai orang yang memiliki hak dan klaim atas tanah tersebut. Sebaliknya, Israel mencari pengelolaan permanen atas keberadaan warga Palestina — melalui perang, pendudukan, dan apartheid.
Suleiman menambahkan, strategi ini konsisten di setiap pemerintahan Israel, apa pun partainya. Koalisi sayap kanan Netanyahu mungkin lebih blak-blakan tentang hal itu, tetapi logika perang tanpa akhir telah membimbing para pemimpin Israel selama beberapa generasi. Setiap gencatan senjata di Gaza berakhir dengan cara yang sama—bukan karena Palestina melanggarnya, tetapi karena Israel tidak pernah bermaksud untuk menaatinya.
Serangan terbaru di Gaza ini lebih banyak berkaitan dengan politik Israel daripada strategi militer. Selama beberapa dekade, perang telah menjadi pusat lanskap politik Israel, berfungsi sebagai alat untuk menggalang dukungan domestik, membungkam perbedaan pendapat, dan mempertahankan status quo pendudukan.
Setiap operasi militer di Gaza menegaskan kembali dominasi Israel sekaligus mengalihkan perhatian dari krisis internal. Netanyahu, yang sangat ingin mempertahankan kekuasaan, tahu bahwa perang adalah pengalih perhatian terbaiknya.
“Dengan pengadilan korupsi yang menghantuinya dan meningkatnya ketidakpuasan bahkan di dalam partainya sendiri, tidak ada yang lebih baik baginya daripada pemboman Gaza lagi. Sekutu sayap kanannya, yang menjaga koalisinya yang rapuh tetap hidup, menuntut hal sama,” ungkapnya.
Untuk sesaat, orang-orang di Gaza membiarkan diri mereka berharap — bukan untuk perdamaian, tetapi jeda cukup lama untuk menguburkan orang mati dengan layak, untuk menyelamatkan sedikit yang tersisa dari rumah mereka, untuk mencari orang-orang terkasih yang hilang di bawah reruntuhan.
Beberapa orang berani membayangkan memulai kembali hidup mereka, meskipun hancur. Para pedagang membuka kembali kios-kios di tengah reruntuhan, keluarga-keluarga menambal rumah-rumah mereka yang hancur dengan apa pun yang dapat mereka temukan, dan para orang tua berbisik meyakinkan anak-anak mereka bahwa yang terburuk telah berakhir. Namun, yang terburuk tidak pernah berakhir.
Israel tidak hanya mengebom Gaza lagi — mereka mengebom sisa-sisa kenormalan yang coba direbut kembali oleh orang-orang. Daerah-daerah yang baru saja mulai terlihat pergerakannya kembali rata dengan tanah. Tempat-tempat penampungan dan berkumpulnya keluarga-keluarga yang mengungsi telah menjadi puing-puing. Kesedihan itu hanya terhenti oleh kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup.
“Inilah siklusnya: perang, kehancuran, bertahan hidup, dan kemudian perang lagi sebelum pemulihan menjadi mungkin. Gaza tidak pernah diberi waktu untuk membangun kembali, apalagi ruang untuk memimpikan masa depan yang berbeda,” paparnya.
Setiap apa yang disebut gencatan senjata berakhir dengan cara yang sama — dengan lebih banyak kerusakan, lebih banyak kerugian, dan lebih banyak bukti bahwa warga Palestina tidak akan pernah bisa bangkit kembali, hanya untuk bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Gaza akan berdarah sekali lagi, dunia akan menyaksikannya, dan dalam beberapa minggu atau bulan, “gencatan senjata” lain akan dideklarasikan — hanya untuk dipatahkan lagi. Siklus ini bukanlah anomali; ini adalah norma. Setiap gencatan senjata hanya berfungsi sebagai selingan sebelum serangan berikutnya.
Bagi Palestina, tidak ada gencatan senjata. Yang ada hanyalah bertahan hidup, hari demi hari, dalam menghadapi perang yang tidak pernah benar-benar berakhir. Dan sampai dunia berhenti berpura-pura sebaliknya, sampai Israel dimintai pertanggungjawaban, perang itu akan terus berlanjut baik dalam gerakan lambat atau sekaligus. Dan itu tidak akan berhenti sampai dunia berhenti berpura-pura bahwa Israel pernah menginginkan perdamaian.