Arah Baru Politik Luar Negeri Prabowo: Antara Kontinuitas dan Ambisi Global

Jauh sebelum Prabowo memegang kendali pemerintahan, politik luar negeri Indonesia telah lama bersandar pada doktrin ‘bebas aktif’. Sebuah prinsip yang digagas oleh Bung Hatta pada awal kemerdekaan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak akan memihak blok manapun dalam Perang Dingin, namun secara aktif terlibat dalam menciptakan perdamaian dunia.
Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8, dengan latar belakang militer yang kental dan rekam jejak sebagai Menteri Pertahanan, sontak menempatkan arah politik luar negeri Indonesia di bawah sorotan tajam. Bagaimana negara kepulauan terbesar di dunia ini akan melangkah di panggung global? Akankah ada pergeseran signifikan dari fondasi ‘bebas aktif’ yang telah mendarah daging, ataukah kita akan menyaksikan adaptasi dan akselerasi kebijakan yang sudah ada, disuntik dengan ambisi global yang baru?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi krusial di tengah gejolak geopolitik dunia yang tak menentu, dari perang berkepanjangan hingga persaingan kekuatan besar yang semakin memanas.
Pendahuluan liputan khusus ini akan mencoba mengurai benang merah dari teka-teki tersebut. Mengapa politik luar negeri Prabowo menjadi begitu menarik perhatian, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di mata dunia?
Sejarah mencatat, setiap pergantian kepemimpinan nasional kerap membawa nuansa baru dalam diplomasi. Namun, dengan Prabowo, ekspektasi itu terasa berbeda. Postur militeristiknya, yang kerap diasosiasikan dengan ketegasan dan pragmatisme, memicu spekulasi tentang potensi prioritas baru yang mungkin lebih menekankan aspek keamanan, pertahanan, atau bahkan manuver diplomasi yang lebih agresif.
Pernyataan-pernyataan awalnya tentang perlunya Indonesia menjadi kekuatan yang dihormati di kancah internasional, serta pandangannya terhadap keseimbangan kekuatan global, semakin mempertebal spekulasi ini.
Apakah ini berarti era diplomasi ‘lunak’ telah usai, diganti dengan pendekatan yang lebih berani dan mungkin lebih konfrontatif dalam beberapa isu? Atau justru, latar belakang militer itu akan menjadi modal kuat untuk berdiplomasi dengan lebih terukur dan strategis, khususnya dalam isu-isu keamanan regional dan global?

Kontinuitas ‘Bebas Aktif’: Fondasi yang Teruji
Jauh sebelum Prabowo memegang kendali pemerintahan, politik luar negeri Indonesia telah lama bersandar pada doktrin ‘bebas aktif’. Sebuah prinsip yang digagas oleh Bung Hatta pada awal kemerdekaan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak akan memihak blok manapun dalam Perang Dingin, namun secara aktif terlibat dalam menciptakan perdamaian dunia.
Prinsip ini telah teruji oleh zaman, menjadi kompas moral dan strategis dalam setiap gejolak internasional. Pertanyaannya, sejauh mana prinsip ‘bebas aktif’ ini akan tetap menjadi fondasi yang kokoh di era Prabowo?
Melihat rekam jejak pemimpin sebelumnya, Joko Widodo, yang secara konsisten mempertahankan prinsip ini, terutama dalam isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan atau krisis di Ukraina, nampaknya sulit bagi Prabowo untuk sepenuhnya mengabaikan atau bahkan mengganti doktrin yang telah menjadi identitas diplomasi Indonesia. Komitmen terhadap ASEAN juga dipastikan akan tetap menjadi prioritas utama.
ASEAN adalah rumah bagi Indonesia, pilar stabilitas regional, dan platform utama untuk berdiplomasi dengan negara-negara di kawasan. Hubungan yang kuat dengan negara-negara anggota ASEAN akan terus menjadi kunci dalam menjaga perdamaian dan mendorong integrasi ekonomi di Asia Tenggara.
Kemungkinan besar, kebijakan luar negeri yang akan dilanjutkan dari era sebelumnya meliputi:
– Penguatan sentralitas ASEAN: Indonesia akan terus berperan aktif dalam memperkuat konsensus dan kapasitas ASEAN dalam menghadapi tantangan regional, termasuk isu Laut China Selatan dan krisis Myanmar.
– Diplomasi kemanusiaan: Indonesia akan tetap responsif terhadap krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia, seperti yang terlihat dalam isu Palestina atau penanganan pengungsi.
– Peningkatan peran dalam organisasi multilateral: Komitmen terhadap PBB, G20, dan forum-forum multilateral lainnya akan terus dijaga sebagai platform untuk menyuarakan kepentingan nasional dan global.
– Promosi demokrasi dan hak asasi manusia: Meskipun mungkin dengan nuansa yang berbeda, Indonesia kemungkinan akan tetap memegang teguh nilai-nilai ini dalam kerangka kebijakan luar negerinya.
Namun, kontinuitas ini bukan berarti tanpa adaptasi. ‘Bebas aktif’ adalah prinsip yang dinamis, bukan dogmatis. Di tangan Prabowo, mungkin kita akan melihat interpretasi ‘bebas aktif’ yang lebih pragmatis atau bahkan assertif, terutama dalam menjaga kepentingan nasional yang berkaitan dengan keamanan dan ekonomi.

Prioritas Baru: Pertahanan, Ekonomi, dan Hubungan Bilateral yang Lebih Dalam
Meskipun fondasi ‘bebas aktif’ dan komitmen terhadap ASEAN akan tetap dipertahankan, sinyal-sinyal dari Prabowo menunjukkan kemungkinan adanya penekanan pada prioritas baru. Sebagai mantan Menteri Pertahanan, fokus pada aspek pertahanan dan keamanan sangat mungkin akan menjadi salah satu prioritas utama.
Ini bukan hanya tentang modernisasi alutsista, tetapi juga tentang peningkatan kerja sama pertahanan dengan negara-negara strategis, latihan militer bersama yang lebih intensif, dan bahkan potensi partisipasi yang lebih besar dalam misi perdamaian internasional. Visi Prabowo untuk membangun kekuatan militer yang disegani mungkin akan diterjemahkan menjadi diplomasi pertahanan yang lebih proaktif, bukan hanya untuk menjaga kedaulatan, tetapi juga sebagai alat tawar dalam negosiasi geopolitik.
Selain itu, diplomasi ekonomi yang lebih agresif juga menjadi indikasi kuat. Di tengah perlambatan ekonomi global dan persaingan investasi yang ketat, pemerintahan Prabowo kemungkinan akan mendorong diplomasi yang lebih fokus pada peningkatan ekspor, menarik investasi asing, dan mengamankan pasokan energi dan pangan. Ini bisa berarti negosiasi perjanjian perdagangan bebas yang lebih cepat, pembukaan pasar-pasar baru, atau bahkan pendekatan yang lebih langsung dalam mempromosikan produk-produk Indonesia di kancah global.
Yang tak kalah menarik adalah potensi hubungan yang lebih erat dengan negara-negara tertentu. Selama masa kampanye, Prabowo menunjukkan kedekatan dengan beberapa pemimpin negara besar, termasuk China dan Amerika Serikat. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah Indonesia akan condong pada satu poros kekuatan, atau justru akan lebih lihai dalam menavigasi persaingan antar kekuatan besar untuk keuntungan nasional.
Hubungan dengan negara-negara di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki potensi investasi besar, juga kemungkinan akan semakin dipererat. Demikian pula, negara-negara di Eropa dan Jepang akan tetap menjadi mitra penting, terutama dalam teknologi dan investasi.

Posisi Indonesia di Isu Global: Menjaga Keseimbangan di Tengah Badai
Dunia saat ini adalah panggung bagi berbagai krisis dan konflik yang kompleks. Bagaimana Indonesia di bawah Prabowo akan memposisikan diri dalam isu-isu global yang mendesak ini akan menjadi ujian sesungguhnya bagi kebijakan luar negerinya.
Perang Rusia-Ukraina: Antara Netralitas dan Upaya Perdamaian
Perang Rusia-Ukraina telah mengguncang tatanan geopolitik global. Selama ini, Indonesia telah mempertahankan sikap netral aktif, menyerukan diakhirinya konflik dan mendorong dialog. Jokowi bahkan sempat melakukan lawatan perdamaian ke Kiev dan Moskow. Di era Prabowo, sikap ini kemungkinan besar akan terus dipertahankan. Namun, potensi pergeseran bisa terletak pada intensitas upaya perdamaian.
Dengan latar belakang militer dan potensi komunikasi yang lebih terbuka dengan pihak-pihak yang berkonflik, Prabowo mungkin akan mencoba memainkan peran mediasi yang lebih substansial, atau setidaknya, berpartisipasi aktif dalam inisiatif perdamaian yang diprakarsai oleh negara-negara non-blok atau kekuatan menengah. Pendekatan ini akan menggarisbawahi komitmen Indonesia terhadap stabilitas global tanpa harus mengorbankan prinsip ‘bebas aktif’.

Keanggotaan BRICS: Prospek dan Implikasi
Isu keanggotaan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) menjadi salah satu perdebatan menarik. Jokowi sendiri telah menyatakan niat Indonesia untuk bergabung, sebagai bagian dari strategi diversifikasi mitra dan penguatan posisi di kancah ekonomi global. Namun, apakah bergabungnya Indonesia dengan BRICS akan sejalan dengan prinsip ‘bebas aktif’ atau justru menjadi bagian dari strategi baru yang lebih condong pada poros non-Barat?
Bergabung dengan BRICS dapat memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia, seperti akses ke pembiayaan infrastruktur, peningkatan perdagangan dengan negara-negara anggota, dan penguatan posisi dalam arsitektur keuangan global. Ini bisa dilihat sebagai langkah pragmatis untuk memperkuat kemandirian ekonomi. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan hubungan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang merupakan mitra dagang dan investasi utama.
Prabowo kemungkinan akan menimbang dengan cermat implikasi geopolitik dari keanggotaan BRICS, memastikan bahwa langkah ini benar-benar membawa manfaat optimal tanpa mengikis prinsip bebas aktif atau menimbulkan persepsi memihak. Keputusan ini akan menjadi penanda penting apakah Indonesia akan lebih condong ke poros ekonomi global multipolar.

Krisis Palestina dan Perang Iran-Israel: Konsistensi Dukungan dan Respon Eskalasi
Dukungan terhadap Palestina adalah isu yang tidak bisa ditawar bagi Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Konsistensi dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina dan penolakan terhadap pendudukan Israel telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Di era Prabowo, dukungan ini dipastikan akan terus berlanjut, bahkan mungkin dengan nada yang lebih tegas, mengingat sentimen publik yang kuat.
Perang Iran-Israel yang belakangan memanas juga menuntut respon cermat dari Indonesia. Eskalasi konflik di Timur Tengah memiliki implikasi serius terhadap stabilitas regional dan global, termasuk harga minyak dan jalur perdagangan. Indonesia akan terus menyerukan deeskalasi dan penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi.
Peran Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia juga akan menjadi penting dalam menyerukan perdamaian dan keadilan, baik melalui forum multilateral maupun bilateral. Prabowo kemungkinan akan memanfaatkan platform internasional untuk menekan pihak-pihak yang berkonflik agar menahan diri dan kembali ke meja perundingan, sembari terus menyuarakan hak-hak rakyat Palestina.
Tantangan Awal: Medan Laga Geopolitik yang Bergelombang
Pemerintahan baru Prabowo tidak langsung mulus. Ada banyak tantangan yang sudah menanti di depan mata, bahkan sebelum ia resmi dilantik.
Pertama, geopolitik yang bergejolak. Perang di Ukraina, ketegangan yang kian memanas di Laut China Selatan, konflik tak berkesudahan di Timur Tengah, dan rivalitas abadi AS-China. Semua ini adalah ‘ladang ranjau’ yang harus dinavigasi dengan hati-hati. Salah langkah sedikit saja, bisa berakibat fatal bagi kepentingan nasional Indonesia.
Kedua, tekanan domestik. Politik luar negeri tidak bisa dipisahkan dari politik domestik. Keputusan di tingkat internasional seringkali harus mempertimbangkan sentimen publik, kepentingan ekonomi dalam negeri, dan dinamika politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Prabowo harus bisa menjaga keseimbangan yang rumit antara ambisi global dan realitas domestik yang kompleks.
Ketiga, kapasitas diplomasi. Apakah aparatur diplomatik kita sudah siap menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan mungkin lebih agresif di bawah kepemimpinan Prabowo? Perlu ada peningkatan kapasitas, baik dalam hal sumber daya manusia maupun infrastruktur dan teknologi yang mendukung kerja-kerja diplomasi.

Kesimpulannya, politik luar negeri di era Prabowo akan menjadi perpaduan menarik antara kontinuitas dan ambisi baru. Prinsip ‘bebas aktif’ akan tetap menjadi kompas yang memandu, ASEAN akan tetap jadi rumah yang aman, dan dukungan untuk Palestina tak akan goyah sedikit pun. Tapi, kita juga akan menyaksikan penekanan yang lebih kuat pada diplomasi pertahanan, agresivitas ekonomi, dan mungkin juga diversifikasi mitra strategis yang lebih berani.
Untuk itu, Prabowo harus membawa energi dan visi yang berbeda ke panggung diplomasi. Ia tidak boleh jadi Presiden yang hanya ‘menunggu bola’ datang. Ia harus menjadi pemain yang aktif, bahkan mungkin mencoba mencetak gol diplomasi. Dunia sedang bersiap, dan Indonesia, di bawah nahkoda baru, akan mengarungi samudra geopolitik yang penuh tantangan ini dengan gayanya sendiri.
Apakah ini akan jadi perjalanan yang mulus atau bergejolak? Kita nantikan saja bersama.