Apakah Trump Akan Mengakui Negara Palestina?

Spekulasi bahwa Donald Trump akan mengakui Negara Palestina di sela-sela KTT Teluk-AS pada pertengahan Mei 2025 memunculkan pertanyaan penting: apakah langkah ini mencerminkan perubahan substansial dalam kebijakan AS terhadap konflik Israel-Palestina, ataukah hanya manuver geopolitik untuk memperluas pengaruh regional melalui Abraham Accords? Jika benar, pengakuan ini akan menjadi kejutan besar dari sosok yang selama ini dikenal sebagai presiden paling pro-Israel dalam sejarah Amerika Serikat.
Selama masa jabatannya yang pertama (2017–2021), Trump membuat keputusan kontroversial seperti memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dan mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Ia juga menjadi arsitek utama Abraham Accords yang membawa beberapa negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa syarat yang menguntungkan Palestina. Namun kini, sumber-sumber diplomatik dari kawasan Teluk menyatakan bahwa Trump bisa saja mengambil langkah dramatis atau tidak terduga (unexpected move) dengan mengakui Palestina, meskipun pengakuan ini kemungkinan besar tidak akan mencakup Hamas yang menguasai Gaza sejak 2007 (The New Arab, 10 Mei 2025).
Respons atas Rumor
Dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Jerman di Yerusalem, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar menyatakan keprihatinannya menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Menurut laporan yang ditulis oleh Nava Freiberg di The Times of Israel (11 Mei 2025), Sa’ar mengatakan bahwa “inisiatif untuk secara sepihak mengakui negara Palestina tidak membangun, bahkan kontraproduktif.” Ia menambahkan, “Mereka hanya akan menjadi hadiah bagi teror Hamas.”
Mengutip The Times of Israel, Sa’ar juga memperingatkan bahwa pengakuan sepihak atas kenegaraan Palestina akan “merusak prospek proses bilateral di masa depan—dan akan mendorong kami untuk mengambil tindakan sepihak sebagai tanggapan.” Pernyataan ini menegaskan sikap keras pemerintah Israel terhadap kemungkinan langkah Amerika Serikat di bawah Trump yang diduga mempertimbangkan pengakuan negara Palestina sebagai bagian dari upaya memperluas Abraham Accords.
Dari AS sendiri, misalnya Dubes AS untuk Israel, Mike Huckabee, menyebut isu pengakuan Palestina—yang dibuat oleh The Jerusalem Post dari “sumber diplomatik di Teluk”—sebagai “omong kosong” dan menambahkan dengan sarkasme bahwa “cucu saya yang berusia 4 tahun lebih bisa dipercaya” (The Jewish Chronicle, 11 Mei 2025).
Dunia Arab juga tidak terlalu yakin dengan rumor itu. Trump adalah pendukung total pendudukan Israel di masa lalu. Misalnya, pada Mei 2019 dia mengatakan, “United States supports Israel 100%” (The Times of Israel, 6 Mei 2019), dan dalam wacana sebelumnya mendukung pengusiran warga Gaza ke Mesir dan Yordania. Dalam dokumen kampanye pilpres AS Make America Great Again pada bab 10 disebutkan dengan jelas, “Kami akan mendukung Israel” dan setelah itu dilanjutkan kalimat “…dan mengupayakan perdamaian di Timur Tengah.” Semua kebijakan itu berpusat pada prinsip America First—Amerika sebagai pusat kepentingan utama.
Ahmed Al-Ibrahim, mantan diplomat Teluk, meragukan isu Palestina akan menjadi fokus utama, sebab Presiden Mesir dan Raja Yordania—dua pemimpin yang paling terkait erat dengan isu Palestina—tidak diundang. Ahmed Boushouki, analis politik Saudi, melihat pertemuan itu terkait “investasi besar-besaran, termasuk kemungkinan kerja sama nuklir damai untuk pembangkit listrik di Arab Saudi,” proyek yang telah dirintis sejak 2010 dan kini mulai direalisasikan dengan keterlibatan perusahaan internasional.
Tiga Kemungkinan
Steven A. Cook, seorang pakar dari Council on Foreign Relations, melihat bahwa Trump sedang memosisikan mitra-mitra Amerika di Teluk sebagai mitra dialog yang terpercaya, bukan sekadar sekutu perjanjian seperti negara-negara Eropa atau mitra lainnya. Dan ini merupakan pendekatan yang berbeda bagi kebijakan luar negeri Amerika, yakni menjadikan negara-negara Teluk sebagai mediator atas berbagai isu, baik di dalam kawasan maupun secara global. Di sini, sikap Trump—terlepas dari motif ekonomi—patut dipuji.
Terlepas dari itu, ada tiga kemungkinan motif di balik manuver “pengakuan Negara Palestina” tersebut. Pertama, tekanan geopolitik di mana Trump harus mengikuti kehendak mayoritas negara Arab yang ingin terwujudnya Negara Palestina. Logika ini berargumen bahwa Arab Saudi—yang ingin memperkuat posisinya di kawasan—semakin menguatkan lobi agar Negara Palestina diakui sebagai syarat normalisasi Saudi-Israel. Pertanyaannya, apakah Saudi memiliki kekuatan powerful untuk menekan AS? Sejauh ini, misalnya suara-suara penghentian perang Gaza saja tidak terselesaikan, dan AS tetap mendukung penuh Israel.
Kedua, politik transaksional Trump untuk menjadikan “pengakuan Negara Palestina” sebagai tawar-menawar ekonomi dan politik AS. Tapi ini termasuk sulit, sebab AS sejak awal adalah mitra utama Israel—yang pasti hitung-hitungan kebijakan luar negerinya meminimalisir kerugian bagi Israel. Sangat mungkin, isu pengakuan tersebut sebagai “umpan” untuk menggaet investasi Saudi yang besar ke AS minimal 600 miliar dolar AS—atau bahkan akan ditingkatkan menjadi 1 triliun dolar AS. Pandangan ini lebih realistis dalam konteks bahwa—sebagaimana presiden AS sebelumnya yang juga “mengupayakan” pendirian Negara Palestina—maka adalah wajar jika Trump juga berkeinginan untuk itu. Sebab statusnya adalah “diupayakan,” yang menunjukkan bahwa AS masih berat sebelah dan sangat mempertimbangkan kepentingan Israel sebelum kepentingan Palestina.
Ketiga, “pembalasan” Trump terhadap Netanyahu, yang disebut telah mengecewakan Trump dalam negosiasi gencatan senjata di Gaza. Kekecewaan tersebut diulas oleh beberapa media, akan tetapi Dubes AS untuk Israel, Mike Huckabee, membantah itu. Ketidakhadiran Trump di Israel dalam lawatan tersebut disebut-sebut sebagai bagian dari kekecewaan tersebut. Tapi sebuah video ucapan terima kasih (12 Mei 2025) atas pembebasan Edan Alexander (tentara berkewarganegaraan Israel-AS)—sebagaimana dirilis Middle East Eye—Netanyahu menyampaikan bahwa ia baru saja berkomunikasi dengan Trump yang “tetap komit pada Israel” dan “tetap bermitra erat dalam membebaskan sandera dan menghancurkan Hamas,” dan mengutip ucapan Trump: “I am committed to Israel. I am committed to continuing to work closely with you to achieve all of our war objectives: to free all hostages and to defeat Hamas.”
Kemungkinan besar, prioritas utama KTT Teluk-AS ini adalah pada kepentingan ekonomi dan kerja sama strategis, bukan solusi langsung atas konflik Palestina. Tapi jika benar Trump akan mengakui Negara Palestina—apakah saat di Teluk atau sesudahnya nanti, entah kapan—tentu saja itu akan menjadi titik balik besar dalam konflik Timur Tengah, mengingat dukungan terhadap two-state solution (solusi dua negara) juga semakin hari semakin signifikan—makin banyak negara di Eropa yang mendukung Palestina, misalnya.
Kalaupun pengakuan kedaulatan Palestina itu terjadi, menurut saya penting untuk memastikan agar tidak berat sebelah—tidak cenderung menguatkan Israel dan melemahkan Palestina. Tidak menempatkan Palestina sebagai subordinat dalam superordinasi kuasa Israel yang semua haknya dibatasi, seperti tidak boleh ada militer, tidak boleh ada perjanjian keamanan dengan negara lain, dan lain sebagainya yang pada akhirnya menjadi “negara palsu,” meminjam kata penulis AS, Aaron David Miller. Tentu saja bukan negara Palestina seperti itu yang diharapkan bangsa Palestina.