Anggota Parlemen Inggris Peringatkan Kemungkinan Munculnya Gaza Lain

Dua anggota parlemen Inggris itu telah kembali dari kunjungan mengerikan ke Tepi Barat yang diduduki. Mereka menggambarkan pelanggaran hak asasi manusia sistemik, penghinaan harian, dan kondisi seperti apartheid telah mengubah wilayah Palestina yang diduduki menjadi Gaza lain.
Anggota Parlemen itu yakni Shockat Adam (Independen, Leicester Selatan) dan Andrew George (Liberal Demokrat, St Ives) adalah bagian dari delegasi yang dikoordinasikan oleh Pusat Keadilan Internasional untuk Palestina (ICJP) setelah deportasi dua anggota parlemen Inggris lainnya dari Tel Aviv seminggu sebelumnya.
Berbicara pada konferensi pers di Westminster, kemarin, para anggota parlemen berbagi cerita tentang tur mereka selama seminggu, mencakup kunjungan ke pos pemeriksaan di utara dan selatan Tepi Barat serta kamp pengungsi Nur Shams yang hancur di Tulkarem.
Pasangan ini menyaksikan serangan militer Israel di Tepi Barat dan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina. Kedua anggota parlemen tersebut telah vokal di Parlemen dengan mengkritik sikap pemerintah Inggris terhadap perang di Gaza dan mendesak sanksi terhadap Israel serta evaluasi ulang penjualan senjata yang sedang berlangsung ke Israel.
“Kami menyaksikan kondisi yang tak henti-hentinya dan memalukan. Tanpa campur tangan internasional, Tepi Barat bisa menghadapi bencana kemanusiaan seperti Gaza,” kata Adam, mengutip The New Arab (TNA).
Para anggota parlemen tiba di Israel pada 13 April dan tetap berada di wilayah pendudukan dan daerah sekitarnya hingga 18 April. Masuknya mereka tidaklah mudah. George sempat ditahan di Bandara Ben Gurion selama satu jam sebelum dibebaskan setelah Kedutaan Besar Inggris melakukan intervensi.
Anggota Parlemen untuk St Ives, yang sebelumnya menuduh Israel terlibat dalam pembantaian berdarah dingin terhadap ratusan anak-anak Palestina, mengatakan ia khawatir dideportasi seperti Yuan Yang dan Abtissam Mohamed setelah dituduh “menyebarkan kebencian”.
“Saya semakin tertarik dengan situasi ini. Kami sudah tahu skalanya sebelum kami pergi,” kata George. “Pernyataan terakhir saya tentang apa yang sedang terjadi banyak diberitakan di media Israel, dan saya khawatir tentang dampak yang mungkin terjadi.”
“Kami merasa cemas karena rekan-rekan kami dideportasi beberapa minggu sebelumnya. Kami tahu situasi yang sebenarnya. Kami pergi dengan dua tujuan: menjadi saksi dan membawa pulang apa yang kami lihat.”
Sempat Diadang Pasukan Israel Bersenjata
Rencana perjalanan membawa mereka ke kamp-kamp pengungsian, desa-desa Palestina, dan jalan-jalan di Hebron, tempat para anggota parlemen menyaksikan apa yang mereka gambarkan sebagai diskriminasi dan kekerasan sistemik. George menceritakan sebuah insiden ketika pasukan keamanan Israel mengarahkan senapan serbu mereka ke kendaraan anggota parlemen saat mendekati pos pemeriksaan.
Para anggota parlemen juga mengunjungi Masafer Yatta di perbukitan selatan Hebron, tempat mereka menjumpai pemukim Israel yang mengganggu petani Palestina. Di tempat ini para pemukim dilaporkan bekerja sama langsung dengan polisi bersenjata Israel.
Adam, yang ditolak masuk ke Masjid Al Aqsa karena beragama Islam, berkata: “Kami melihat ribuan orang diblokir di pos pemeriksaan. Kami melihat pernikahan dibatalkan karena mempelai pria tidak bisa masuk. Orang-orang ini hidup dalam keadaan terhina.”
Sementara para anggota parlemen menggambarkan situasi di Tel Aviv dan Haifa sebagai ketenangan Mediterania, Tepi Barat digambarkan sebagai “tanah pos pemeriksaan dan menara pengawasan”, yang ditandai dengan meningkatnya agresi pemukim dan kontrol militer.
“Kelompok A hidup dalam kemakmuran relatif, dengan hak-hak demokratis. Kelompok B dibatasi dalam pergerakan, hak-hak, dan hidup dalam ancaman setiap hari,” kata George, mengacu pada orang Israel dan Palestina.
Adam, yang memimpin upaya mendorong parlemen agar Inggris secara resmi mengakui Negara Palestina, mengatakan bahwa Israel memaksakan sistem pemisahan dan penindasan terhadap warga Palestina, yang ditandai dengan kekerasan dan hasutan.
Dalam satu pertemuan yang mengerikan, ia menggambarkan percakapan dengan seorang pemukim Israel yang menyatakan bahwa anak-anak Palestina harus dibunuh karena, katanya, mereka hanya akan tumbuh untuk membunuh orang Israel.
RUU Pengakuan Negara Palestina yang diusulkan oleh anggota parlemen independen saat ini sedang dipertimbangkan di Parlemen, didukung oleh anggota independen lainnya seperti Jeremy Corbyn.
Rakyat Inggris tak Puas dengan Sikap Pemerintahannya
Publik Inggris semakin tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang terus mendukung Israel. Survei terbaru menunjukkan meningkatnya rasa frustrasi dengan ketidakpedulian pemerintah. Kampanye akar rumput di berbagai universitas dan dewan lokal telah mengintensifkan seruan untuk menilai kembali hubungan Inggris-Israel.
Ketegangan muncul dalam komunitas Yahudi Inggris sendiri setelah Dewan Deputi Yahudi Inggris baru-baru ini menskors seorang anggota senior yang ikut menandatangani surat mengutuk tindakan militer Israel di Gaza.
“Ini bukan tentang memihak, ini tentang memihak pada kemanusiaan. Masa depan di mana warga Palestina bebas adalah satu-satunya jalan menuju keamanan jangka panjang bagi semua orang di wilayah ini. Kata-kata saja tidak cukup. Inggris harus bertindak sekarang, sebelum lebih banyak nyawa terenggut, dan sebelum menit terakhir berlalu,” kata Adam.