7 Tradisi Suku Toraja, Kearifan Lokal Khas Tana Toraja

Inilahsulsel.com – Di Sulawesi Selatan, Suku Toraja adalah salah satu suku yang memiliki keunikan dalam tradisi dan budayanya. Tak heran, banyak wisatawan yang datang ke Sulawesi Selatan untuk menyaksikan berbagai tradisi Suku Toraja.
Masyarakat Suku Toraja mendiami wilayah Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. Keunikan mereka terletak pada tradisi yang masih dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi suku Toraja ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi cerminan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang mereka pegang teguh.
Tradisi Suku Toraja
Dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berikut adalah beberapa tradisi Suku Toraja.
Upacara Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara pemakaman adat Toraja yang sangat unik dan menjadi ciri khas Suku Toraja. Upacara ini dilakukan dengan penuh kehormatan dan biasanya melibatkan seluruh anggota masyarakat.
Bagi masyarakat Tana Toraja, Rambu Solo memiliki makna yang sangat penting sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang tua atau saudara yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan tradisional Aluk o Dolo, seseorang yang telah meninggal belum dianggap benar-benar meninggal sebelum upacara Rambu Solo dilakukan.
Upacara ini dilaksanakan selama beberapa hari dengan melibatkan banyak rangkaian acara serta partisipasi banyak orang. Secara umum, bagi masyarakat biasa, Rambu Solo berlangsung selama tujuh hari. Selain prosesi upacara, Rambu Solo juga membutuhkan pengorbanan hewan-hewan seperti babi dan kerbau yang jumlahnya cukup banyak. Tujuan dari Rambu Solo adalah memberikan bekal kehidupan bagi yang telah meninggal di alam akhirat.
Acara ini biasanya diadakan di sekitar Tongkonan (rumah adat Toraja) atau di lapangan sekitar rumah adat tersebut. Beberapa ritual penting dalam Rambu Solo termasuk mandi jenazah, persiapan sebelum pemakaman, pemakaian kain kafan, berkabung, dan prosesi pemakaman khas Toraja di lereng-tebing.
Upacara Rambu Tuka
Rambu Tuka, juga dikenal sebagai Rampe Mata Allo, merupakan sebuah upacara sukacita dan syukuran yang menjadi bagian penting dalam perayaan kehidupan masyarakat Toraja.
Tradisi ini merayakan berbagai momen penting seperti kesuksesan panen, kebahagiaan dalam rumah tangga, atau peristiwa-peristiwa lain yang menggembirakan. Dipercaya bahwa Rambu Tuka telah menjadi bagian integral dari kepercayaan masyarakat Toraja sejak zaman kuno, sejalan dengan kedatangan manusia pertama di dunia, yang terhubung erat dengan sistem kepercayaan mereka yang dikenal sebagai Aluk Todolo.
Upacara ini biasanya dilaksanakan di sebelah timur rumah, di barung-barung atau tongkonan, saat matahari mulai menanjak.
Tradisi Silodongan
Silondongan adalah tradisi sabung ayam jantan yang menjadi bagian dari pesta adat di masyarakat Toraja. Tradisi ini merayakan sejarah perang penting di Tanah Toraja saat pertempuran antara orang Toraja dan pasukan Arung Palakka pada tahun 1670. Dalam tradisi ini, kokok ayam digunakan sebagai sinyal untuk berbagai langkah dalam pertempuran, seperti kesiapan pasukan dan isyarat untuk menyerang.
Masyarakat Toraja meyakini bahwa ayam jantan adalah lambang kemenangan, kesejahteraan, dan masa depan yang cerah. Ada dua jenis silondongan yang dikenal. Pertama, terkait dengan sistem peradilan dalam tarian pitu, dan yang kedua untuk menghormati mereka yang dianggap berjasa dan telah meninggal dunia.
Silondongan juga kadang-kadang diselenggarakan sebagai bentuk penggalangan dana sumbangan dengan menyebarkan seruas bambu untuk dikontribusikan oleh orang-orang yang ingin memberikan sumbangan.
Tujuan dari silondongan adalah untuk memperingati jasa-jasa para pejuang Toraja dalam sejarah, menjadi tempat pertemuan bagi seluruh keluarga dan pejuang Toraja, serta memberikan dukungan keuangan untuk upacara pemakaman bagi mereka yang dihormati dalam masyarakat Toraja.
Upacara Ma’Nene
Ma’Nene adalah upacara adat di mana masyarakat Toraja membuka peti mati leluhurnya dan merawat serta mengganti pakaian mereka. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Pelaksanaan Ma’nene meliputi dua tahap utama: tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Pada tahap persiapan, keluarga almarhum menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk upacara, termasuk persiapan kain dan sesaji seperti sirih dan pinang.
Sementara pada tahap pelaksanaan, seluruh anggota keluarga berkumpul di kuburan masing-masing untuk memulai upacara. Saat upacara berlangsung, mereka semua menjalankan adat untuk menghormati arwah leluhur tanpa mengonsumsi nasi sebagai bentuk penghormatan yang khusus.
Proses Ma’nene dimulai dengan pemimpin upacara menempatkan sesaji sambil mengundang kedatangan roh-roh leluhur dengan kata-kata, “mari, wahai para leluhur, nikmatilah persembahan kami”. Kemudian, dengan khidmat, jenazah diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan ritual, dimana kaum perempuan turut berperan dengan air mata dan keluhuran hati, sementara para lelaki memimpin prosesi pembukaan tempat peristirahatan terakhir sang leluhur.
Untuk jenazah yang baru saja dimakamkan, seringkali hanya pembersihan ringan yang dilakukan, sedangkan untuk jenazah yang belum pernah mengalami upacara Ma’nene, pembungkus mayat biasanya diperbarui sebagai bagian dari penghormatan mereka.
Tradisi Rampanan Kapa’
Rampanan Kapa’ atau pernikahan adat adalah aspek sakral dalam kepercayaan Aluk Todolo masyarakat Toraja. Ini dianggap sebagai pangkal dari hubungan sesama manusia yang berkembang.
Dalam kepercayaan tersebut, pernikahan pertama dianggap terjadi antara Datuk La Ukku’ dan To Tabang Tua serta disaksikan langsung oleh Puang Matua, yang dikenal sebagai rampanan kapa’.
Tradisi ini dijalankan oleh pimpinan adat, bukan penghulu agama. Meskipun diatur oleh hukum adat, pernikahan ini tidak melibatkan kurban. Waktu pelaksanaannya biasanya antara pagi dan sore hari, antara penyelenggaraan rambu tuka dan rambu solo. Aturan pernikahan adat telah disesuaikan dengan agama Kristen yang dianut oleh masyarakat Toraja.
Tradisi Magrara Banua
Mangrara Banua adalah tradisi selamatan yang dilakukan oleh masyarakat Toraja untuk merayakan penyelesaian pembuatan rumah tradisional mereka, baik banua barung-barung maupun tongkonan.
Tradisi ini telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak lama, seiring dengan pembangunan rumah-rumah tradisional Toraja. Mangrara Banua adalah bentuk pengabdian kepada keluarga, di mana seluruh keturunan dari tongkonan berkewajiban untuk melaksanakannya.
Tradisi Sisemba
Sisemba adalah olahraga tradisional yang telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Toraja, bahkan diyakini terkait erat dengan kedatangan manusia pertama dalam mitologi Toraja. Dalam bahasa Toraja, sisemba berarti saling menendang kaki dan sering dilakukan sebagai bagian dari ritual syukuran (rambu tuka’) dan ritual kematian (rambu solo’).
Permainan ini dimaksudkan sebagai hiburan setelah selesainya acara ritual. Sisemba dilakukan dalam tiga cara: simanuk (satu lawan satu), siduanan (dua lawan dua), dan sikambanan (kelompok lawan kelompok), biasanya di lapangan terbuka. Peserta utamanya adalah pemuda dan lelaki dewasa. Permainan dimulai dengan pemuda, termasuk anak-anak, yang saling menendang, kemudian lelaki dewasa turut berpartisipasi.
Makna di balik permainan sisemba adalah membangun persaudaraan dan kemampuan menerima risiko hidup seberat apapun. Biasanya permainan ini dilakukan pada periode akhir Juni hingga awal Agustus, saat masyarakat Toraja sedang panen padi.