3 Terdakwa Kasus Proyek APD COVID-19 Dituntut 4-14 Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan hukuman penjara antara 4 hingga 14 tahun.
Salah satu terdakwa, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana, dituntut hukuman pidana selama empat tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di rutan,” ujar jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025).
Selain pidana penjara, Budi Sylvana juga dituntut membayar denda sebesar Rp200 juta. Jika tidak dibayar, denda tersebut akan diganti dengan tiga bulan kurungan.
Sementara itu, dua pihak swasta yang turut terlibat adalah Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM), Ahmad Taufik, dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), Satrio Wibowo.
Ahmad Taufik dituntut 14 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp224,18 miliar subsider 6 tahun penjara.
Adapun Satrio Wibowo dituntut hukuman penjara selama 14 tahun 10 bulan, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp59,98 miliar subsider 4 tahun penjara.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut para terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam proyek pengadaan APD di Kemenkes.
Nilai kerugian tersebut merujuk pada Laporan Hasil Audit BPKP terkait Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan APD Kemenkes RI yang menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dari BNPB Tahun 2020. Laporan itu tercatat dalam dokumen Nomor PE.03.03/SR/SP-680/D5/02/2024 tanggal 8 Juli 2024.
Jaksa menyatakan para terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam negosiasi harga pengadaan 170 ribu set APD.
Namun, negosiasi tersebut dilakukan tanpa dasar surat pesanan.
“Melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran,” kata jaksa.
“Serta menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp711.284.704.680 (Rp711 miliar) untuk PT PPM dan PT EKI,” tambahnya.
Jaksa juga mengungkap bahwa PT EKI tidak memiliki izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Selain itu, PT EKI dan PT PPM tidak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kesepakatan negosiasi APD.
“Melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan,” tegas jaksa.
Atas perbuatan tersebut, ketiga terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama.