Harvey Moeis dan Pandangan Umum soal Hukum Hanya Buat Mereka yang Punya

Lihatlah, bagaimana pencurian kelas “ecek-ecek” itu bisa diganjar hukuman yang lebih lama dibanding yang diterima Harvey Moeis. Kalau pun ada pemberatan—misalnya dilakukan secara bersama-sama, pasal yang mengurusnya, Pasal 363 KUHP, hanya menaikkan ancaman hingga tujuh tahun. Artinya, pencurian sandal jepit dan ayam yang biasa terjadi di kampung-kampung pun bisa dihukum lebih berat daripada maling tak punya malu macam Harvey Moeis! .
Meski kebanyakan audiens hanya hadir melalui layar kaca, Senin pagi, 23 Desember 2024 itu ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta terasa seperti penuh sesak. Ini memang sidang yang ditunggu publik. Harvey Moeis, terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga timah, duduk di kursi pesakitan. Namun, wajahnya datar tanpa emosi, seolah tahu bahwa vonis yang akan diterima tak akan membuatnya menderita. Tak ada kesan takut di wajah orang yang telah merugikan negara Rp300 triliun dan mengoyak rasa keadilan setiap warga Indonesia yang beradab itu.
Ketua Majelis Hakim, Eko Aryanto, membuka putusan. Kalimat-kalimatnya mengalir pelan, nyaris monoton, hingga akhirnya sampai pada inti: “Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama enam tahun enam bulan…” Ruangan sejenak hening, namun di luar gedung, ledakan emosi segera terjadi.
Segera, badai pun pecah. Di Twitter atau X saat ini, tagar seperti #VonisRingan, #KorupsiRp300Triliun, dan #HukumElite langsung menempati puncak tren nasional. Komentar pedas bermunculan dari berbagai sudut. “Rp300 triliun hanya dihukum 6,5 tahun? Kalau begitu, saya mau korupsi Rp1 triliun saja, biar cuma dihukum setahun!” tulis salah seorang pengguna Twitter dengan nada satir. Meme dan sindiran terus bermunculan.
Bahkan, dalam grup WhatsApp alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, alma mater Hakim Eko, reaksi tidak kalah tajam. “Vonis ini memalukan kita sebagai alumni. Di mana rasa keadilan itu?” tulis seorang anggota grup. Di satu medsos, seorang mantan dosen yang tidak ingin disebutkan namanya menambahkan, “Vonis ini bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga integritas hakim.”
Harvey, Pesohor, Lalu Koruptor
Nama Harvey Moeis bukanlah sosok bau kencur dalam dunia kaum elite Indonesia. Sebelum kasus “maling timah” itu mencuat, ia lebih dikenal sebagai suami aktris cantik nan terkenal, Sandra Dewi. Kehidupannya yang gemerlap dengan pesta dan liburan mewah, sering kali menjadi sorotan di media hiburan. Di era medsos yang tak punya batas antara urusan pribadi dan publik, warganet hanya taju dirinya sebagai suami royal yang kerap membagi-bagi hadiah mewah dan mahal buat sang istri.
Siapa sangka, di balik semua itu, ia adalah dalang dari salah satu kasus permalingan terorganisasi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Investigasi terhadap PT Timah Tbk, yang menjadi pusat skandal ini, menemukan bahwa Harvey bersama rekannya, Helena Lim, melakukan manipulasi sistematis terhadap tata niaga timah di Indonesia. Modus mereka mencakup pembelian bijih timah dari tambang dan penambang ilegal, pengelolaan dana gelap, dan penggunaan smelter untuk “mencuci” hasil tambang tersebut agar terlihat legal. Tidak hanya itu, kerugian negara sebesar Rp300 triliun juga mencakup kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki.
“Kasus ini bukan hanya soal uang,” ujar Zaenur Rohman, pakar hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM. “Ini tentang ekosistem yang hancur, dampak sosial bagi masyarakat setempat, dan potensi kehilangan sumber daya masa depan.”
Ketimpangan Hukum yang Mencolok Mata
Publik, yang mungkin tidak akrab dengan detail teknis hukum, dengan mudah melihat ketimpangan yang terlalu telanjang dalam vonis kasus ini. Bagaimana mungkin seseorang yang merugikan negara ratusan triliun rupiah hanya dihukum 6,5 tahun? Bandingkan dengan kasus di Palu, Sulawesi Tengah pada 2010 lalu. Saat itu, seorang pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) didakwa mencuri sandal jepit merk Ando seharga Rp 30 ribu, dan diancam hukuman penjara lima tahun. Itu terjadi karena perbuatan anak itu dilaporkan Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap, yang juga ternyata bukan pemilik sandal. Pelajar culun itu diadili dengan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang hukumannya maksimal lima tahun penjara.
Lihatlah, bagaimana pencurian kelas “ecek-ecek” itu bisa diganjar hukuman yang lebih lama dibanding yang diterima Harvey Moeis. Kalau pun ada pemberatan—misalnya dilakukan secara bersama-sama, pasal yang mengurusnya, Pasal 363 KUHP, hanya menaikkan ancaman hingga tujuh tahun. Artinya, pencurian sandal jepit dan ayam yang biasa terjadi di kampung-kampung pun bisa dihukum lebih berat daripada maling tak punya malu macam Harvey Moeis!
“Ketika hukum berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan, maka itu bukan hukum. Itu hanya alat untuk melanggengkan ketidakadilan,” ujar Hudi Yusuf, pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno.
Mengapa Seringan Itu?
Ketua Majelis Hakim, Eko Aryanto, menyebutkan beberapa alasan meringankan yang menjadi dasar putusan ini. Salah satunya adalah sikap sopan terdakwa selama persidangan dan fakta bahwa ia belum pernah dihukum sebelumnya. Yaelah! Alasan yang terasa mengada-ada banget untuk kasus sebesar itu.
Wajar jika komentar pakar hukum dan mantan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD pun sampai menyoal sisi-sisi non hukum, yakni perilaku hakim yang mengadili.
“Setelah mengetukkan palu vonisnya hakim malah tetap duduk dan membiarkan Harvey bersukaria di depan majelis. Hrs-nya hakim keluar dulu, baru yang lain blh berdiri,” tulis Mahfud MD. Lebih lanjut, Mahfud mencuit,” Hakimnya malah ikut cengar-cengir seperti ikut gembira dan ingin mengucapkan selamat kepada Harvey. Apa-apaan ini?”
Jaksa sendiri menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara, yang sebenarnya juga dianggap terlalu rendah oleh banyak pihak. Namun, undang-undang memang memberikan ruang interpretasi yang luas kepada hakim. Pasal 18 UU Tipikor membatasi uang pengganti kerugian maksimal sebesar aset yang terbukti berasal dari hasil kejahatan. Dalam kasus ini, uang pengganti sebesar Rp210 miliar dianggap banyak pihak signifikan, meskipun jauh dari kerugian total Rp300 triliun.
Zaenur Rohman memberikan perspektif yang lebih luas. “Kerugian Rp300 triliun itu mencakup banyak aspek, termasuk kerusakan lingkungan dan dampak sosial, yang sulit dihitung secara pasti,” kata dia. “Namun, sulit bagi masyarakat untuk menerima argumen ini ketika rasa keadilan mereka telah terluka.”
Nama Jokowi Terbawa-bawa ke Ruang Sidang
Kasus Harvey Moeis mengingatkan kita pada apa yang dikatakan filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam Discipline and Punish. Ia menyebut bahwa hukum sering kali menjadi alat kontrol sosial yang melanggengkan hierarki kekuasaan. Dalam konteks ini, hukum di Indonesia tampak berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik.
Sementara John Rawls, dalam bukunya “A Theory of Justice”, menekankan pentingnya keadilan sebagai cara untuk memperbaiki ketimpangan sosial. Berkaca dari sisi das sollen –idealitas–tersebut, alhasil kasus-kasus seperti itu, terutama yang mutakhir seperti kasus Harvey, menunjukkan bagaimana hukum di Indonesia lebih sering menjadi alat kompromi daripada penjaga keadilan.
“Hukum bukanlah alat netral,” ujar Prof. Satjipto Rahardjo. “Jika hukum berpihak pada mereka yang berkuasa, maka itu bukan hukum. Itu adalah manifestasi dari kekuasaan itu sendiri.”
Yang menarik, dalam persidangan, nama Presiden Joko Widodo juga disebut-sebut. Mantan Kepala Unit Produksi PT Timah, Ali Samsuri, mengungkapkan bahwa pada 2018, Jokowi pernah meminta PT Timah untuk membantu legalisasi tambang ilegal. Entah apa maksud Ali mengungkap hal tersebut sebagai, tentu saja, apologi atas kasus yang kemudian menggegerkan Indonesia itu.
Meski lebih berkaitan dengan urusan penyebutan dirinya dalam daftar lembaga Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) sebagai finalis Person of the Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi, Jokowi membantah. Sambil berusaha tertawa, dia mengatakan, banyak framing yang merugikan dirinya tanpa memberikan bukti jelas. “Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan, apa? Sekarang kan banyak sekali fitnah, banyak sekali framing jahat. Banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti, itu yang terjadi sekarang, kan?” ujar Jokowi, Selasa (31/12/2024).
Tapi ya, namanya juga rumors, sulit ditepis. Banyak pihak yang percaya, korupsi sebesar itu tidak mungkin terjadi tanpa perlindungan politik tingkat tinggi.
Membunuh Tunas Ketidakadilan
Vonis yang umumnya dianggap terlalu ringan itu, bagi banyak kalangan tidak hanya merusak rasa keadilan, tetapi juga memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum. Sementara sebelumnya, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa sektor hukum adalah salah satu yang paling tidak dipercaya oleh generasi muda. Ketimpangan ini berpotensi memicu apatisme sosial, bahkan anarkisme.
Sejarah menegaskan, ketika hukum tidak bisa diandalkan, rakyat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Salah satu founding fathers Amerika Serikat, Benjamin Franklin bahkan mengatakan, “Keadilan tidak akan ditegakkan sampai mereka yang tidak terdampak sama murkanya dengan mereka yang terdampak.” Itu sejalan dengan pemikiran yang dipercayai filsuf terkemuka Prancis, Voltaire. “Orang yang tidak mendapatkan keadilan,”kata Voltaire,” akan mengambilnya sendiri nanti, atau lebih cepat lagi.”
Jwlas, kasus Harvey Moeis bukan hanya soal vonis ringan yang mengejutkan. Ia adalah puncak gunung es dari sistem hukum yang penuh celah, bias, dan kekurangan pengawasan.
Namun, harapan tentu saja selalu ada. Alquran sendiri menegaskan dalam Surat Yusuf (12):87 untuk menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari sikap putus asa. “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir.”
Menurut Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM, solusi awal untuk urusan ini adalah merevisi Undang-Undang Tipikor, terutama dalam mendefinisikan dan menghitung kerugian negara. “Sebab, tanpa itu, kita akan terus melihat celah hukum yang dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan,” kata Zaenur.
Ia juga mengingatkan, salah satu kelemahan terbesar dalam kasus tersebut adalah bagaimana penghitungan kerugian negara sering kali menjadi debat tanpa ujung. Dalam kasus Harvey, angka Rp300 triliun terasa mencengangkan, tetapi hanya Rp210 miliar yang ditetapkan sebagai uang pengganti. “Ini menunjukkan betapa lemahnya regulasi kita,” ujarnya.
Namun, revisi undang-undang saja tidak cukup. Komisi Yudisial (KY), lembaga yang seharusnya menjadi penjaga integritas hakim, terlihat belum optimal menjalankan perannya. Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, menyoroti pentingnya penguatan pengawasan, paling tidak dari lembaga pengawas para hakim itu. “Pengawasan yang efektif tidak boleh sekadar formalitas. KY perlu diberdayakan agar mampu benar-benar menjalankan fungsinya tanpa gangguan dari kepentingan lain,” kata Bivitri dalam sebuah kesempatan.
Bivitri juga menekankan pentingnya menjaga independensi lembaga pengawas. “Pengawasan yang tidak independen justru akan memperlemah integritas sistem hukum kita,” kata dia.
Prof. Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, juga memberikan pandangan tentang perlunya reformasi mendalam. Dalam salah satu wawancaranya, ia menekankan bahwa transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. “Publik harus dilibatkan secara lebih aktif, terutama dalam pengawasan kasus besar. Tanpa transparansi, kecurigaan terhadap integritas proses hukum akan selalu ada,” ujarnya.
Ia memberikan contoh sederhana. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat atau Inggris, proses hukum besar sering kali melibatkan partisipasi masyarakat melalui sistem juri atau pengawasan media yang sangat ketat. “Indonesia bisa mempelajari hal itu,” kata dia, menambahkan.
Namun, menurut mendiang Prof. Satjipto Rahardjo, ada hal yang lebih mendasar. Hukum, kata guru besar emeritus bidang hukum Universitas Diponegoro itu, bukan hanya soal aturan tertulis, melainkan soal keberanian untuk memperjuangkan keadilan. “Hukum yang mati-matian mempertahankan teksnya, tetapi mengabaikan konteksnya, adalah hukum yang gagal,” tulisnya dalam salah satu karya legendarisnya. Dalam konteks kasus Harvey Moeis, hukum tampaknya telah kehilangan arah.
Kasus Harvey Moeis adalah ujian besar bagi Indonesia. Namun, seperti kata Nelson Mandela, “Tidak ada bangsa yang besar tanpa melewati ujian berat.” Indonesia harus belajar dari kasus ini, memperbaiki sistem hukum, dan memastikan keadilan menjadi landasan utama. Pertanyaannya kini: apakah kita siap memperjuangkannya? [dsy/rizki putra aslendra/syahidan/reyhaanah]