Kanal

Teknologi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan


Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim bahwa ketahanan pangan nasional saat ini sangat terjaga. Dalam rilis Senin (17/2/2025), Kementan mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa produksi beras pada Januari–Maret 2025 akan mencapai 8,67 juta ton. Angka ini meningkat 52,32% dibandingkan periode yang sama pada 2024, yang hanya mencapai 5,69 juta ton. Namun, fluktuasi sebesar itu juga menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional belum sepenuhnya berkelanjutan.

Ketahanan pangan tidak hanya tentang produksi, tetapi juga mencakup tata niaga dan rantai pasok. Sistem rantai pasok pangan global masih menghadapi tantangan seperti inefisiensi distribusi, pemborosan komoditas akibat sistem penyimpanan yang buruk, serta kurangnya transparansi dalam pergerakan barang dari produsen ke konsumen.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sistem pangan bertanggung jawab atas sepertiga emisi GRK antropogenik global. Dengan meningkatnya populasi dunia dan dampak perubahan iklim yang semakin nyata, teknologi menjadi kunci dalam merancang sistem distribusi pangan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, blockchain dan sistem cold storage menjadi dua inovasi penting yang dapat merevolusi rantai pasok pangan nasional. Modernisasi ini harus dilakukan secara tepat guna, dengan efisiensi anggaran dari sektor pemerintah dan swasta, serta memastikan sinergi yang optimal.

Blockchain dalam Rantai Pasok Pangan

Blockchain menawarkan solusi revolusioner dalam meningkatkan transparansi dan efisiensi rantai pasok pangan. Dengan sistem pencatatan yang tidak dapat diubah (immutable ledger), blockchain memungkinkan setiap pihak dalam rantai pasok—mulai dari petani, distributor, hingga pengecer—untuk melacak pergerakan barang secara real-time.

Baca Juga:  INFOGRAFIS: Angka Kemiskinan di Indonesia dalam Satu Dekade

Teknologi ini mampu mengurangi kecurangan dalam distribusi pangan, meningkatkan akuntabilitas, serta mempercepat proses audit keamanan pangan. Menurut laporan McKinsey (2024), blockchain dapat mempercepat waktu audit keamanan pangan hingga 70%, memungkinkan pergerakan barang lebih efisien dan mengurangi risiko pembusukan.

Beberapa negara telah berhasil menerapkan blockchain dalam sistem pangan mereka. Di Tiongkok, Alibaba menggunakan blockchain dalam rantai pasok produk agrikultur, yang meningkatkan efisiensi distribusi hingga 30% dan mengurangi kasus penipuan makanan. Di Uni Eropa, blockchain diterapkan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan pangan dan meningkatkan transparansi harga bagi petani.

Urgensi untuk Indonesia

Di Indonesia, blockchain berpotensi besar dalam mengurangi inefisiensi logistik yang menyebabkan pemborosan hingga 30% dari hasil pertanian dan perikanan nasional. Dengan implementasi yang tepat, teknologi ini dapat membantu memberikan harga yang lebih adil bagi petani dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk pangan nasional.

Selain blockchain, infrastruktur cold storage memainkan peran penting dalam ketahanan pangan, terutama untuk produk yang mudah rusak seperti daging, ikan, dan sayuran. Di banyak negara maju, fasilitas penyimpanan berpendingin telah menjadi standar dalam rantai pasok pangan untuk memperpanjang masa simpan produk dan mengurangi risiko pemborosan.

Baca Juga:  Premanisme Ormas, Ketika Legalitas Digunakan untuk Menindas

Teknologi cold storage terkini yang telah diadopsi di berbagai negara meliputi:

  • Refrigeran ramah lingkungan (CO₂ & NH₃), yang mengurangi emisi karbon hingga 40% dibandingkan refrigeran sintetis, serta memperpanjang umur simpan bahan pangan 20–30% lebih lama.
  • Panel Isolasi Vakum (VIP), yang menghemat konsumsi energi hingga 30% dan mengurangi kebocoran panas sebesar 30–40%.
  • Otomatisasi dan IoT dalam cold storage, yang meningkatkan efisiensi operasional hingga 25% serta mengurangi pemborosan produk segar akibat suhu yang tidak stabil.
  • Cold storage bertenaga surya, yang mengurangi ketergantungan listrik konvensional hingga 50%, memungkinkan distribusi pangan lebih berkelanjutan di daerah terpencil.
  • Sistem Pemulihan Panas, yang menghemat 10–15% biaya energi dengan memanfaatkan panas sisa dari pendinginan.

Tantangan dan Peluang

Meskipun pemerintah telah mengembangkan program Tol Laut untuk mendukung distribusi pangan antar-pulau, keterbatasan fasilitas cold storage masih menjadi kendala utama dalam menjaga stabilitas ketersediaan pangan. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa sekitar 30% hasil pertanian dan perikanan nasional mengalami pemborosan akibat infrastruktur penyimpanan yang tidak memadai. Oleh karena itu, pengembangan cold storage yang terintegrasi dengan sistem blockchain dapat menjadi solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi distribusi pangan nasional.

Baca Juga:  Perang Dagang AS-China di Masyarakat Konsumer

Agar teknologi blockchain dan cold storage dapat berjalan efektif dalam sistem pangan nasional, diperlukan:

  1. Dukungan kebijakan dan regulasi yang kuat, termasuk insentif bagi sektor swasta untuk membangun fasilitas cold storage yang lebih luas dan terjangkau.
  2. Peta jalan digitalisasi pertanian dan logistik pangan yang lebih konkret untuk memastikan adopsi teknologi ini dalam industri pangan.
  3. Kolaborasi antara petani, distributor, dan ritel guna menciptakan ekosistem rantai pasok yang lebih efisien dan berkelanjutan.
  4. Peningkatan kesadaran dan pelatihan bagi pemangku kepentingan, agar mereka memahami manfaat blockchain dan teknologi penyimpanan modern.

Jika diterapkan dengan optimal, blockchain dan cold storage dapat meningkatkan efisiensi distribusi pangan hingga 40%, dengan potensi penghematan biaya logistik mencapai Rp15 triliun per tahun. Teknologi ini juga mampu mengurangi pemborosan pangan hingga 25%, serta meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian dan perikanan Indonesia.

Teknologi memiliki peran krusial dalam membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia. Dengan memanfaatkan blockchain dan sistem cold storage, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan efisiensi rantai pasok, mengurangi pemborosan, serta memperkuat daya saing produk pangan di pasar global. Implementasi teknologi ini bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi sebuah langkah strategis dalam memastikan ketersediaan pangan jangka panjang di tengah ketidakpastian ekonomi dan perubahan iklim global.

Back to top button